Translate
SENIMAN HIKMAH DAN SPIRITUAL TINGKAT TINGGI
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamualaikum.w.w
Kyai Fuad Peret
Seorang Kyai {Guru Agama} Pendiri Pondok Pesantren Traditional Roudlotul Fatihah
Dianugrahi Oleh Alloh Banyak Ilmu2 Hikmah Yang Sangat Tinggi Yang Pastinya Sangat Bermanfaat Bagi Banyak Ummat Manusia
Akal Sangat Terbatas Tak Akan Mampu Memikirkan Yang Sangat Tak Terbatas
Sang
Kyai Selain Sebagai Guru Agama Dan Spiritual Beliyau Juga Seorang
Seniman Yang Banyak Dikenal Orang Sebagai Pelukis Abstrak
Transendentalisme
Lukisan Beliyau Sangat Banyak Mengandung Hikmah Dan Spiritual Yang Sangat Tinggi
Lukisan Belyau Bukan Sembarang Lukisan Dan Yang Pasti Sangat Berbeda Dengan Lukisan Orang Lain
Beliyau
Melukis Menurut Syareat Dan Menjauhi Larangan2 Syareat Sehingga Lukisan
Tersebut Akan Menjadi Berkah Bagi Sang Pemilik Dan Tidak Dimurkai Sang
Pencipta Keindahan
Sering Kali Beliyau Sebelum Melukis Melakukan Pendekatan Kepada Sang Pencipta Keindahan
Dengan
Melakukan Uzlah,Puasa,zdikir Sampai Berminggu2 Bahkan Sampai Berbulan
Bulan Sampai Dapat Petunjuk Dari Sang Pencipta Keindah Untuk Melukis Tak
Heran Jikan Lukisan Beiyau Banyak Mengandung Hikmah Bagi Sang Pemilik
Dan Yang Pasti Manfaat Dunia Akherat
Kyai Fuad Plered
Penagsuh Pendiri Pondok Pesantren Traditional Roudlatul Fatihah
Sang Kyai Berkata
Lukisan Ini Seperti Surat Cinta Dari Langit
Dan Yang Melukis Ini Bukanlah Siapa2
Lukisan
Beliyau Lebih Merupakan Notasi Suasana Dan Upaya Untuk Menarik Aura
Dzikir Yang Di Matrealisasikan Lebih Kurang Semacam Visualisasi Energi
Yang Terus Menerus Tidak Pernah Musnah Sebagaimana Takdir Energi Itu
Sendiri Bisa Berubah Rupa Tanpa Bisa Menghilang
Abstrak Transendentalisme
Kyai Fuad Pleret
Sewaktu Disanggar Lukisan
Sang Kyai Berkata
Sewaktu Pameran Lukisan Beiyau
Lukisan Abstrak Transendentalisme
TESTIMONI
Risalah Rajah Sosrokartono
Dalam
ranah arkeologis, kebiasaan ziarah menjadikan peziarah menjadi sadar dan
mengapresiasi peninggalan tersebut. Sebut saja makam salah satu wali, dari tata
letak dan lokasi, maupun dari nisan atau kijing memberi tanda tentang kedudukan
dan status sosial tertentu.[2]
Sedangkan dalam konteks seni rupa, para peziarah memperoleh khasanah estetik
yang menggugah, menikmati detail teknik upaya para penatah hiasan nisan; pemahat
kayu singgasana khutbah dan tubuh bedug; keramik yang tertempel di dinding
makam atau masjid; para muralis hiasan dan kaligrafi Arab pada dinding masjid; sampai misalnya ide dan upaya para sunan membuat tiang kayu penyangga Masjid Demak yang amat brilian.
Diambilnya
karya ini sebagai contoh utama bukan merupakan sebuah kebetulan. Karya ini
sengaja dipakai di sini untuk menandai sebuah pergulatan pemikiran yang dekat
dengan diri Kyai Fuad sebagai manusia diantara karya-karya lain yang telah
dihasilkan. Karya ini secara ide dan gaya jelas menandakan contoh Abstrak
Transendentalisme yang saya anggap paling lengkap kajiannya dari seluruh karya
Kyai Fuad yang pernah dibuat sampai saat ini.
Sosrokartono
jelas bukan seorang dokter. Ia lebih dikenal sebagai paranormal, giat
bertirakat, suka menolong orang, rendah hati, dan tak mau menikmati kemewahan,
bahkan ia sering hanya makan sebuah pisang dan dua buah cabe dalam sehari.
Begitu rajin dan ikhlasnya menanamkan peran Cinta-Kasihnya ia merasa menjadi “mandor”
atas perintah Allah (oleh sebab itu ia menyebut dirinya Mandor Klungsu). Begitu
lurus pemikiran dan hidupnya membuat orang lain mengenangnya terus-menerus,
hingga ia sendiri tidak menikah (oleh sebab itu Sosrokartono menyebut dirinya
Joko Pring). “Kulo dermi ngelampahi
kemawon, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggakaken dhateng
Gusti (Saya sekadar menjalani saja, hanya mencari kebaikan, semua saya
serahkan pada Tuhan),” demikian ungkapnya.
Setelah itu Mahdi memberitahu pada Pak Karyan bahwa ada cara
untuk melepaskan itu semua tanpa harus merasa sakit maupun memelihara atau
menyediakan sesaji, yakni dengan memasang karya lukisan Kyai Fuad. Pak Karyan
pun mau, karena ia tidak ingin terus-menerus bermasalah dengan hal itu. Lalu Pak
Wan juga menyuruh untuk membuang keris simpanannya tersebut (akhirnya keris ini
dikirim ke Yogya, kini disimpan oleh Pak Wan). Lalu Pak Karyan membeli lukisan
kertas bertajuk Gunung Mas (2011) berukuran
50x40cm, seharga Rp. 5 juta (padahal menurut Pak Wan seharusnya Rp. 15 juta). Saat
itu Pak Karyan tak pernah melihat dulu wujud lukisan tersebut. Setelah membayar
mahar, lukisan dikirim oleh Pak Wan dari Yogyakarta.[37]
Read More
Lukisan Profetik KH. M. Fuad Riyadi di Era Pascamodern
Oleh Mikke Susanto
Kita
sedang menghadapi lukisan kyai. Bukan lukisan yang menggambarkan tentang seorang
kyai dan kehidupannya. Akan tetapi menghadapi lukisan yang dibuat seorang kyai
tentang apa yang dipikirkan dan dilakukannya. Serampangan saja coba rasakan perbedaan
tersebut, tak terasa. Akan tetapi di balik itu semua terkandung makna yang tak
hanya berkutat pada persoalan kata “lukisan” dan “kyai”.
Kata
“lukisan” dan “kyai” menjadi sumbu utama dalam tulisan ini. Dua kata ini tentu
bukan berfungsi sebagai subjek atau predikat. Gabungan kata ini pun bukan kata majemuk
yang menghasilkan interpretasi baru. Tampak biasa, namun kajiannya dalam,
persoalannya pelik, pembahasannya kompleks. Di sini, kedua kata ini akan bersatu
terus-menerus. Meskipun dua kata ini jika dipisah tak mengalami masalah, karena
keduanya adalah dunia yang berbeda.
Kedua
kata ini dalam tulisan ini terus berkelindan dan berfungsi untuk menghubungkan dua
dunia yang selama ini sering menjadi perdebatan: dunia seni (yang kini dimediasi
oleh lukisan, sejatinya bersifat sekuler) dan dunia religi (yang kini dihadapi
oleh seorang kyai, sejatinya bersifat sakral). Meskipun di luar pengertian
tersebut, ada realias “lukisan sakral” maupun sebutan “kyai sekuler”. Kita akan
berada dalam ulang-alik kata tersebut nantinya. Menariknya, ketika menghadapi “lukisan
kyai” saya yakin sebagian pikiran Anda akan selalu terkait dengan sebuah dogma:
Islam.
Pertautan Seni dan Religi
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Chairil Anwar, “Doa”, 1943
Gagasan
dan ide mengenai pertautan seni dan religi (Islam) telah menghasilkan sejarah
panjang. Sebagai contoh kecil saja, kedatangan Islam di Jawa membawa pengaruh
besar dalam perkembangan seni rupa maupun sebaliknya. Hal ini ditandai dengan
dimulainya kedatangan para wali ke Nusantara, yang kemudian menggunakan seni
sebagai media dakwah. Peran para penyebar Islam ini kini telah memiliki fungsi
secara nyata untuk menjadikan Islam tidak saja sebagai agama, namun juga
memberikan warisan yang amat penting, yakni sebagai bagian dari sistem budaya.
Clifford Geertz, satu diantara banyak peneliti kawakan tentang budaya dan agama
di Indonesia menuliskan semua gagasan ini dalam buku-bukunya.
Warisan
ekspresi semacam ini dapat dilacak melalui berbagai aktivitas masyarakat yang
sampai saat ini masih berlangsung. Salah satu contohnya yang masih terkait
dengan kedatangan para penyebar agama adalah kebiasaan melakukan ziarah yang
dilakukan oleh masyarakat di Nusantara. Adanya aktivitas ziarah menyebabkan
materi-materi budaya tersebut menjadi sedemikian dihormati dan dihargai, bahkan
layaknya barang dagangan. Dalam beberapa konteks, praktik ziarah memberi arah
yang menarik, dalam ranah religi setidaknya memiliki dua tataran: individual (sebagai kunjungan religius
yang tidak kurang maknanya dengan sholat berjamaah) dan kolektif (sebagai penghormatan religius untuk mengenang sejarah
atau cikal-bakal sebuah komunitas atau masyarakat, misalnya munculnya Islam di
Nusantara).[1]
Interior makam Kyai Ageng Moh. Kasan Besari,
Tegalsari, Ponorogo dan kayu eks tiang Masjid Demak. Foto: Mikke Susanto.
|
makam atau masjid; para muralis hiasan dan kaligrafi Arab pada dinding masjid; sampai misalnya ide dan upaya para sunan membuat tiang kayu penyangga Masjid Demak yang amat brilian.
Sayangnya,
dalam perkembangan lebih lanjut, materi yang semula dipakai sebagai media penyebaran
tauhid sebagian berubah fungsi. Jika sebelumnya seni dipakai sebagai sebuah
media dakwah, peninggalan berupa artefak kini digunakan secara berlebihan dan
sekuler, diantaranya sebagai media perantara kebutuhan duniawi: dari
dokumentasi penelitian, atau sekadar sebagai “panggung atau studio foto luar
ruang” yang mengasyikkan, sampai mencari pesugihan, memudahkan mencari jabatan,
jodoh, atau mungkin juga membalas dendam, dan lain-lain.
Inilah
sebagian contoh dari wajah pertautan religi dan seni yang disajikan dalam
bentuk warisan budaya berupa ziarah. Tentu masih banyak contoh lain. Setidaknya
akar persoalan hubungan antara seni dan religi sesungguhnya telah lama menjadi
kajian menarik. Merujuk pada pendapat I. Bambang Sugiharto mengenai sejarah hubungan
seni dan religi, terkait dengan beberapa hal. Jika di era pramodern religi
adalah paradigma dominan kehidupan, dalam situasi modern religi adalah
tendensi infantil (kekanak-kanakan), patologis, dan totaliter yang harus
dilepaskan (Freud, Marx, Nietzsche, Feuerbach, Comte, Hegel, dan sebagainya),
sedang dalam situasi pascamodern religi adalah lagu lama yang mesti
ditafsir atau bahkan dirancang ulang.[3]
Jika
memang harus ditafsir ulang, lalu seperti apakah citra yang diinginkan atau
setidaknya wacana seni Islam yang kita hadapi saat ini?
Kilasan Pengertian dan
Sejarah Seni Islam
Betapa aku harus kembali ke dalam
kesendirianku
karena hanya dalam kesendirianku
aku dapat merindukan dan memilikimu
Sindhunata, “Wajah Putri
Cina”, Air Kata-Kata, 2003
Mari
bertandang sejenak melintasi ruang waktu di masa lalu sekaligus memahami
sekilas seni yang berkembang dalam Islam. Seni Islam sampai saat ini kerap
didefinisikan dengan berbagai pendekatan dan perspektif, sehingga memunculkan
polemik yang tak berkesudahan. Salah satu yang dominan diantaranya adalah
pemahaman seni Islam yang diartikulasi sebagai sebuah seni yang berkembang pada
ruang dan masa tertentu.
Sebagian
ahli menyatakan bahwa seni Islam dimulai dari era kelahiran Islam di zaman
Rasulullah SAW. dan diakhiri pada era Dinasti Ottoman di Turki atau Qajars di
Persia di awal abad ke-20. Setelah itu, kebanyakan para sarjana seni Islam
mulai meninggalkan istilah “Seni Islam” (Islamic
Art) dalam kajian-kajian mereka kemudian menggantinya dengan menyebut
sebagai “Seni Muslim” (Muslim Art) saja.[4]
Tentu
saja pengertian di atas hanyalah satu diantara opini yang diusung oleh sarjana
seni Islam yang terasa sekali sikap “orientalis”-nya. Sikap tersebut diyakini
hanya dengan memberi patokan durasi ruang dan waktu yang sesungguhnya tidak
mampu melihat pengaruh dan dimensi yang lain dalam praktik seni Islam
selanjutnya.
Di
lain pihak, berbagai “perbincangan” sejarah menyatakan bahwa karena penyebaran
Islam tidak dinyana-nyana telah melampaui negeri asalnya, maka pengaruh agama
tersebut tentu saja juga membawa kisi-kisi Islam hingga ke dalam budaya lain.
Rukun Iman yang didengungkan oleh Rasulullah menawarkan satu visi kerohanian
tersebut akhirnya menembus batas-batas etnis dan sosial. Sehingga melahirkan
seni Islam “baru” yang membedakan diri dengan seni Islam “orisinal” dari Arab.
Seni Islam “baru” inilah yang dianggap mengalami adaptasi atau sering disebut
seni Islam singkretis.[5]
Menurut
James Bennet, salah satu diantara hal yang paling kuat mempengaruhi penyebaran
dan pertautan antara Islam dan budaya lokal adalah mistisisme sufi. Para sufi
telah mendekatkan estetika dengan spiritualitas, terutama memuncak pada abad
ke-13. Teori-teori seni atau estetika yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali,
Ibnu Arabi, Suhrawardi, Ahnaz al-Ghazali, Ruzbihan, Al-Baqli, Jalaluddin Rumi,
dan lainnya sangat memengaruhi kehidupan satra, musik, dan seni rupa Islam. Mistisisme
sufi sendiri pertama kali muncul di Persia dan tercerai-berainya para aulia dan
ulama, menyusul jatuhnya Baghdad di tangan penyerang Mongol pada tahun 1258
mempercepat penyebaran gerakan keagamaan ini di semenanjung jalur perdagangan
darat maupun laut.[6]
Menurut
Bennett, guru-guru sufi dan murid-murid mereka menularkan praktik-praktik budaya
dan keagamaan Islam di Asia Tenggara pada masa awal kesultanan sampai abad
ke-17. Mereka mempraktikkan ajaran untuk menuntut ilmu yang diserukan
Rasulullah SAW serta ajaran Sufi mengenai “toleransi universal” atau sulh-i-kull menciptakan kesediaan untuk
menegosiasikan perbedaan di dalam lingkungan kebudayaan yang baru. Mereka
memasuki kawasan-kawasan baru dan bergaul dengan tradisi-tradisi keagamaan asli
yang jarang dikunjungi dengan mudah oleh ulama-ulama yang lebih ortodoks. Para
penganut sufi seringkali berhubungan dengan persatuan pedagang atau pengrajin
sesuai dengan tarekat yang mereka ikuti. Mereka menjalani satu sikap ekumenis (kebersatuan)
dan mendukung berkembangnya seni rupa dan seni pertunjukkan.
Walisongo yang
legendaris yang hidup pada abad ke-16 dewasa ini tetap dikenang sebagai ahli
penggubah puisi, membabar keris, mementaskan musik, serta teater wayang Gedog
yang mementaskan certia atau kisah-kisah Panji (oleh Sunan Giri) adalah salah
satu contoh penting mengenai kebersahajaan mereka menggabungkan seni, Islam,
dan tradisi. Keberadaan Kesultanan Aceh yang tampil secara gemilang sebagai
kerajaan besar pada masanya juga mengumandangkan hasil budaya yang sangat
menarik. Keahlian para pemahat batu di Aceh dalam mengukir batu nisan
bertuliskan huruf-huruf yang luwes yang selama berabad-abad diekspor ke
Malaysia dan ke daerah-daerah yang lain menjadikan istilah batu Aceh sampai dewasa ini pun masih dipergunakan untuk menandai
makam Muslim.
Demikian
pula keberadaan batik yang ada di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan
bagian dari sifat estetik-introspektif yang bertentangan dengan gaya kain yang
bersifat kosmopolitan dan sekuler yang berkembang di pesisir utara Jawa atau
pengaruh dari luar kraton, seperti Belanda dan Jepang. Masih banyak lagi contoh
pertautan gaya tradisi yang dimanfaatkan oleh Islam dalam berbagai khasanah,
dari pusi, keris, Panji, batu sampai tekstil, kriya logam, taman sari, kotak
sirih, naskah daun lotar, lukisan kaca, keramik, dan sebagainya. Setidaknya
Islam, menyitir pendapat pelukis Malaysia Sulaiman Esa (l. 1941) lebih dari
sekadar agama, dia adalah al-din,
satu jalan yang lengkap dan dengan demikian secara menyeluruh mencakup
kehidupan rohani, sosial, politik, intelektual, ekonomi dan budaya manusia.
Merujuk
berbagai khasanah di atas, tak salah bila dalam membahas Islamic art kita tidak bisa menolak pengaruh yang terjalin di luar
agama Islam berasal. Barbara Brend mendefinisikan seni Islam sebagai “seni yang
dihasilkan dari ajaran atau budaya Islam dari para penganutnya. Seni Islam
tidak harus selalu menunjukkan konten (ajaran) agama, dengan demikian para
seniman dan orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak selalu berasal dari
kelompok yang pemahaman agamanya bagus, termasuk para kuratornya.”[7]
Sepadan
dengan itu, menurut Jonathan Bloom & Sheila Blair yang mengartikulasi seni
Islam tidak hanya sebagai bentuk seni yang dibuat untuk praktik-praktik dengan
latar belakang Islamis, tetapi juga seni yang dibuat oleh dan untuk masyarakat
yang tinggal—tentu saja yang lebih penting—di daerah Muslim. Pengertian ini
sangat berbeda dibanding seni Kristen maupun Budha: seni Islam merujuk pada
seni-seni dari semua kebudayaan Islam dan tidak hanya terkait dengan religi
Islam, termasuk variasi yang dilahirkan oleh pengaruh Islam.[8] Menurut
Bloom dan Blair, seni Islam merujuk pada kurun waktu mulai dari abad ke-7 di Arab
(kelahiran Islam) sampai 15 abad kemudian yang meliputi kawasan antara Samudera
Atlantik dan Samudera India di daerah Asia dan Afrika, dalam bentuk yang
bervariasi.
Seni
Islam selalu berbicara mengenai hubungan yang kuat antara estetika dan
spiritualitas. Para perupa menciptakan garis sekaligus melakukan praktik rohani
dalam bentuk apapun. Tak salah bila kompleksitas Islam sebagai suatu
kepercayaan di satu sisi, sekaligus sebagai sistem sosial yang memiliki
garis-garis haluan tertentu telah memastikan bahwa di setiap tempat di mana
Islam berpijak, di sana Islam telah mengilhami keberagaman ekspresi seni yang
mengagumkan. Jawa--secara khusus di antaranya Yogyakarta-adalah satu entitas
penting dalam pembahasan seni dan religi Islam di dunia.
Ulama/Kyai Melukis & Citranya
yang Khas
Cahaya
senja yang merah
sampai
juga ke dalam kamar
menjagakan
kelewang yang tidur
Dari
masjid terdengar zikirmu
maka
perang pun dimulai
D. Zawawi Imron, “Saran”, Berlayar di Pamor Badik, 2007.
Jika
menguak persoalan seni dan Islam, selalu saja kita terikat oleh asumsi bahwa
ada seorang pelukis (profesional) yang melukis cita rasa/estetika Islam dalam
lukisannya. Sangat jarang ditemukan kasus yang berbeda dan khas. Apalagi jika
tujuannya mencari citra baru dalam seni lukis Islam masa kini. Salah satu citra
yang unik dan khas ketika menghubungkan persoalan seni dan religi adalah dengan
mengambil kasus yang mungkin tidak biasa, yakni ulama melukis. Apa yang terjadi
dan bagaimana mengkaji hal tersebut?
Sejak awal,
perkara ulama melukis menimbulkan persoalan yang menarik bagi saya. Jika
dibandingkan dengan pelukis biasa, persoalan tidak akan sepelik ini. Ada
sejumlah pertanyaan awal yang bisa didiskusikan. Pertama, apakah kita perlu meninjau perkara ulama melukis dari
aspek hasil akhirnya atau dari proses kerja kreatifnya? Kedua, bagaimana meninjau persoalan pemikiran di balik kerja
profesinya sebagai ulama ketika ia menumpahkan pemikiran lewat lukisan? Ketiga, apakah ia sungguh-sungguh (akan
jadi) seorang pelukis? Keempat, apa
sajakah gaya dan isi lukisannya: tentang Islam atau general? Kelima, untuk apa dia melukis, toh jika ia ingin melakukan syiar agama,
bukankah telah banyak cara yang jauh lebih efektif dan efisien yang sudah
dilakukan oleh pendahulu mereka? Keenam,
untuk apa dan siapa lukisan tersebut? Dan yang paling penting, ketujuh, benarkah lukisan tersebut
memang “berfungsi” sebagai karya seni?
Marilah
kita mulai menelusuri sejumlah pertanyaan di atas, dengan menguak sisi
etimologi dan pengertian tentang ulama atau kyai terlebih dahulu.
Ulama atau
kyai adalah sebutan yang khas di dunia Islam, khususnya di Indonesia. Menurut asal
muasalnya, sebagaimana dirinci oleh Zamakhsyari Dhofier, perkataan “kyai” dalam
bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi
barang-barang (dan hewan) yang dianggap sakti dan keramat, misalnya Kyai Garuda
Kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta atau
kerbau bule bernama Kyai Slamet di Kraton Surakarta. Gelar semacam inilah yang
kerap dituduh sebagai “kyai sekuler”. Kedua,
sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya, seperti Kyai Haji
Ahmad Dahlan atau yang lainnya. Ketiga,
sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pimpinan Pesantren.[9]
Dalam kasus yang
lebih kontekstual, kata “kyai” kini bahkan telah dipakai untuk sebuah nama grup
musik yang ada di Yogyakarta: Kyai Kanjeng, pimpinan Emha Ainun Najib. Setidaknya
dalam tulisan ini terdapat pengertian kyai (ajengan,
tuan guru, tengku)[10]
yang menjurus pada hubungan persoalan agama dan pondok belajar agama
(pesantren). Seperti yang ditulis berikut ini.
A Kyai (key-eye) is an expert in Islam. The word is
of Javanese origin, and is sometimes spelled kiai. Traditionally, students of Islam in Indonesia
would study in a boarding school known as a pesantren. The leader of the school was called kyai, as a form of respect. The traditional word
for a teacher in Islam is ustad,
which is an Arabic word. There are many ustads in Indonesia who teach the religion, but most of them do not have a
boarding school.[11]
Sekali lagi, “kyai”
dalam kajian ini terkait dengan ahli agama yang memiliki otoritas penuh
terhadap pesantren. Secara khusus, otoritasnya tidak didasarkan atas legalitas
formal pesantren, akan tetapi lebih pada kharisma yang dimiliki. Kharisma
tersebut muncul dari konsistensi kyai dalam melaksanakan ilmu yang dimiliki
dalam kehidupan sehari-hari, keikhlasan, dan dedikasi dalam mengembangkan
pendidikan dan agama Islam. Kyai akan berusaha untuk mengamalkan ilmunya
terlebih dahulu, baru kemudian mencoba mengajarkannya kepada masyarakat. Hal inilah
yang dilihat dan dipandang oleh masyarakat sebagai teladan. Pada akhirnya
banyak anggota masyarakat dengan kerelaan hati ngaji atau belajar
pengalaman hidup pada kyai.
Adapun hal yang
membedakan kualitas kyai tentu saja latar belakang ilmu dan kompetensinya.
Dengan melihat latar belakang dan kompetensi tersebut, kita akan bisa
membedakan jenis pesantren yang dipimpinnya pula.
Gelar “kyai” sendiri tidak
diberikan ketika ia dilahirkan (meskipun ada pula sebutan “kyai muda” atau
panggilan “nak kyai”), akan tetapi lebih banyak diberikan oleh masyarakat atau
diperoleh dari pengakuan antar kyai, ataupun bahkan mungkin dari kyai-kyai
besar yang sebelumnya pernah mengajari, atau di saat ia sudah memimpin
pesantren atau berperan lebih dari orang biasa.
Tentu saja seorang
kyai memiliki kemampuan yang kuat dalam beberapa hal. Beberapa diantaranya yang
juga memiliki kemampuan agama atau spiritual yang tak mudah dicari
tandingannya. Di antara sekian banyak kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat disebut
sebagai kharisma atau karomah. Para
kyai yang memiliki kemampuan spiritual yang tinggi, karomah dan kharisma sering disepadankan dengan eksistensi para
wali, nabi atau setidaknya mendekati kemampuan rasul. Sehingga sebutan “kyai”
juga dekat dengan seseorang yang memiliki kemampuan di luar rasio rata-rata,
seperti halnya eksistensi seorang seorang santo atau bahkan penyihir.[12]
Sedangkan KH.
Muhammad Fuad Riyadi memiliki opini cukup menarik mengenai “kyai”. Ia
menyatakan bahwa sebutan “kyai” adalah ulama akhirat pewaris perjuangan nabi.
Bukan kyai ala orang Jawa yang tiap lelaki mati digelari kyai atau tiap barang
yang bertuah disebut kyai. Kyai atau ulama akhirat sangat obsesif terhadap
kesuksesan akhirat, cuek pada duniawi, termasuk ketika seorang kyai yang
memiliki karomah dan kompetensi besar
tersebut meninggal, maka ia pun tetap memberikan pengalaman spiritual yang
tinggi bagi pelayatnya.[13]
Lalu, bagaimana dengan
kemampuan seorang kyai di luar persoalan ilmu agama yang di dalaminya? Apakah
kemampuan bernyanyi, bermusik, berpuisi, melukis, memahat, mendalang, menulis
cerpen, berhitung, atau memasak bisa disamakan dengan kemampuan spiritual lain,
seperti seorang kyai yang tinggal di Jawa selalu sholat Jumat di Mekah, tidak
tembus peluru dan bubuk mesiu, berkemampuan menghilang, menyembuhkan orang sakit,
berjalan cepat, atau memutar masjid (jika diperlukan)?
Bukankah kemampuan
menghilang dan menyembuhkan juga memerlukan “latihan”seperti halnya melukis dan
bernyanyi? Dengan demikian, apakah bila seorang kyai yang dalam waktu singkat
menjadi pandai melukis dianggap mengalami dimensi mistik atau sedang melakukan
tindak spiritual khusus? Bahkan apakah salah bila lukisannya pun disaksikan
oleh sebagian pembelinya dianggap sebagai benda luar biasa yang harus dibahas di
luar persoalan estetika?
Kyai Fuad dan Karya-karyanya
Lukisan-lukisan ia hanyalah semacam
surat cinta
Dari langit, dan si Pelukis ini
bukanlah siapa-siapa
Abdul Wachid BS., “Lukisan
Laduni”, 2010
Kyai Haji
Muhammad Fuad Riyadi atau Kyai Fuad adalah subjek atas perkara ini. Kyai Fuad
yang lahir di Bantul, pada 8 Oktober 1970 saat ini aktif memimpin pondok
pesantren “Roudlotul Fatihah”. Pondok Pesantren Limasan Jati “Roudlotul Fatihah (Taman
Pembangun Jiwa)” didirikan di Wonokromo-Imogiri Bantul, pada tahun 2000.
Beberapa bulan setelah gempa besar yang terjadi di Yogyakarta 27 Mei 2006 pesantren
ini direlokasi. “Roudlotul Fatihah” kemudian dibangun kembali pada sebidang
tanah seluas 4000 meter persegi di lereng barat Gunung Sentono, Kampung Santri,
Kecamatan Pleret Bantul. Dipilihnya tanah ini diyakini sebagai tanah yang
mendapat berkah, karena sering dikunjungi sejumlah kyai. Sebelumnya Kyai Fuad
mendapatkan pilihan tanah di Kulon Progo, namun karena alasan kedekatan dari
Wonokromo-Imogiri (tempat tinggal asal dan tempat dimana pondok pesantren yang
didirikan leluhurnya serta masih mempertimbangkan jauh dekat kediaman para
santrinya), maka Kyai Fuad memantapkan diri memiliki lokasi yang sekarang.
Sampai saat
ini, suasana pesantren ini masih sepi, jauh dari jalan aspal, dan memberi
keheningan sehingga mendukung suasana yang kondusif. Dalam pendirian pesantren
ini Kyai Fuad dibantu oleh beberapa orang. Kegiatannya pun saat ini sudah
lumayan banyak. Sedangkan santrinya saat ini diperkirakan telah berjumlah
ratusan orang. Mondok di pesantren
ini pun tidak memerlukan birokrasi yang rumit (bahkan tanpa harus meninggalkan
KTP), tinggal ijin menetap atau tanpa menginap dan tidak dipungut biaya apapun.
Daya tarik lainnya, papan nama yang dipakai untuk penanda pesantren pun
disponsori oleh perusahaan operator handphone
ternama dan tidak ada tulisan Arab sama sekali pada papan tersebut. Pesantren
ini dihadiahi 500 nomor dari operator tersebut. Karena itu nomor handphone Kyai Fuad dan istrinya pun
istimewa, “nomor cantik dan berpasangan” dari jaringan tersebut.
Kyai Fuad
sendiri secara formal sudah mengalami masa-masa sulit, baik ketika membangun dasar
pemikiran pribadi, mendirikan pondok pesantren, hingga masa kerja seperti
halnya kebanyakan orang yakni pernah menjadi wartawan sebuah harian di
Yogyakarta dan guru SMAN 2 Banguntapan, Bantul. Kini, dengan kondisi yang
mapan, setidaknya mampu membeli material cat yang berkualitas tinggi, sejak
tahun 2009 melukis dan berpameran tunggal.
Sampai saat
tulisan ini dibuat, Kyai Fuad sering mengaku bukan pelukis profesional. Ia juga
baru 3 tahun ini aktif melakukan kerja melukis. Baginya melukis bukan saja
perkara melakukan tindak kreatif pada sebidang kanvas atau menjual karya untuk
kepentingan berbagai hal, namun lebih dari sekadar itu. Melukis adalah bagian
dalam syiar Islam yang diembannya. Melukis adalah media silahturahmi sesama
manusia. Dengan melukis ia merasa dekat dengan satu masyarakat tertentu untuk
mendapatkan teman sebanyak mungkin. Dengan melukis ia merasa mengenal
pribadi-pribadi maupun pengalaman-pengalaman yang baru dan berbeda dari
sebelumnya. Meskipun demikian keterkaitan dunia seni tidak dimulai dengan
melukis, tetapi memasuki dunia sastra terlebih dahulu. Oleh karena itu, di
pesantren sering terjadi diskusi agama berbaur dengan diskusi seni, baik lukisan,
musik, olahraga, dan sastra, karena pesantren menjadi ruang pertemuan bagi para
aktivis dunia seni dan sastra Yogyakarta.[14]
Kemampuannya
melukis dimulai dari kesenangannya menggambar sejak kecil. Pada saat belajar di
SMP
Negeri Baturetno, Banguntapan, Bantul ia banyak membuat coretan maupun tulisan di buku-buku
catatan pelajaran, dengan membuat pohon atau pemandangan alam secara sederhana.
Akan tetapi situasi dan kondisi yang melingkupi hidupnya kala itu tidaklah
kondusif untuk terus melukis.
Fuad muda
lebih banyak melakukan pembelajaran diri untuk mengetahui pengalaman hidup. Di
lain pihak, sejak mahasiswa ia pun belum memiliki kemauan dan tak menyadari
kemampuan dirinya dalam persoalan agama. Secara terus terang bapak 3 anak ini mengaku
pada saya pernah atheis dan tak mudah percaya pada takdirnya. “Karena saat itu
jadi kyai saya anggap gak keren, Mas!”
ungkapnya. Ia pernah merasa sangat benci dengan keberadan kyai, sampai-sampai
ia tak bisa mengerti begitu banyak orang yang mencium tangan kala bertemu kyai.
Ketakacuhannya
terhadap takdirnya sebagai kyai rupanya hanya tampilan fisik. Meskipun ia
terus-menerus begitu (benci atas kyai), rupanya tak selamanya ia terhindar dari
takdirnya. Suami dari Suparmiyati dan Dara Aryani ini mengatakan bahwa meskipun
kala mahasiswa benar-benar tak acuh, pernah pada suatu kali ketika mengetahui
bahwa ada seorang kyai meninggal (yakni Kyai Makmun, seorang kyai anggota
Muhammadiyah) ia tidak bisa cuek. Tiga hari berturut-turut ia hanya bisa
menangis dalam kamar. “Ada sesuatu yang terasa hilang, irasional, dan sesak
dalam benak saya saat itu,” ungkapnya.
Namun
ketika bertemu dan berguru pada ulama khos
macam KH. Abuya Dimyati (Banten) dan Kyai Hamam Ja’far (Pesantren Pabelan Muntilan,
Magelang, Jawa Tengah) ia mengalami revolusi
pemikiran. Dari Dimyati ia memperdalam tasawuf dan asketisme ulama salaf,
sedang Kyai Hamam membuka hati betapa menariknya menjadi kyai. Ia melihat sosok
2 dari sekian gurunya tersebut sebagai idealisasi hidupnya sebagai manusia.
Dimyati dan Hamam dihormatinya karena mampu melakukan hal-hal yang memang ingin
dilakukan tanpa pernah merasa takut dan sungkan pada siapapun, kecuali pada
Allah.
Dimyati dan
Hamam yang dihormatinya mampu menggerakkan hasrat Fuad muda untuk kembali pada
fitrah yang telah digariskan padanya. Meskipun dia sadar dan tahu, bahwa orang
tua dan neneknya (Nyai Sangidu) sering berkata pada orang lain bahwa Fuad-lah
yang akan menjadi kyai dan meneruskan tradisi pesantren yang telah digagas oleh
para moyangnya. Ditambah lagi, sebutan kyai diterimanya setelah dikatakan oleh
Dimyati bahwa Fuad kecil itu akan jadi kyai. Pikir Fuad, inilah takdir, sebuah
pemberian tak bisa disangkal dan ditangkal.
Adapun yang
terkait secara mendalam pada proses pemikiran intelektual-kreatif, Fuad sudah
giat melakukan kerja kreatif dengan giat menghasilkan karya sastra maupun
artikel sejak 1990. Ia berguru pada satrawan legendaris Yogyakarta, Ragil
Suwarnopragolapati. Sampai saat ini ia tetap menulis sejumlah buku, diantaranya
Risang Pawestri (1990), Aku Ini (1991), Catatan Tanah Merah (1992), Rumpun
Bambu (1994), Begini-Begini dan
Begitu (1997), Gerbong (1998) Embun Tajalli (2000), Kampung
Santri (2001), Cara Idiot jadi Kyai
(2005), Islam itu Gampang (2005), dan
Lidah Kyai Kampung (2010).
Awal
aktivitas melukisnya dimulai ketika ia akrab dengan sastrawan Joni Ariadinata.
Persahabatan ini sejak lama terjalin. Fuad muda juga kerap melakukan diskusi
seni dan sastra ketika ia duduk di bangku kuliah di IKIP Yogyakarta (sekarang
UNY). Pergulatan pemikiran seni yang digesek bersama rekan-rekan sastrawan dan
pemikiran spiritual yang dimilikinya menggugah Fuad muda untuk menyelesaikan
tugas dakwahnya secara menyeluruh. Dengan demikian ia menganggap bahwa lukisan
adalah hal yang cukup efisien dan efektif untuk mendukung dan menggulirkan
idealismenya tentang berbagai hal, termasuk sebagai kyai dan sebagai pimpinan sekaligus
pengelola pesantren.
Konsepnya melukisnya
sederhana, ia ingin semua orang masuk surga. Implementasinya adalah ia harus
melukis dengan tujuan agar memberi kesadaran dan manfaat secara spiritual. Ia
menganggap bahwa selama ini banyak atau sebagian besar lukisan (karya orang
lain) lahir dengan niatan yang bersifat materialistik. Niatan semacam ini
memang sering menghadang sikap dan hidup para seniman, terutama ketika tujuan
melukisnya adalah komersialisasi.
Tak salah
bila pemikiran fundamental sebagai seniman yang sejatinya adalah manusia “suci”
(dari materi), lama-lama terkikis dan luntur oleh tujuan tersebut. Banyak
seniman kini berubah menjadi “tukang”. Lebih dari itu terdapat pula standar
ganda yang dilakukan. Tidak jarang ada seniman yang tidak mengakui karyanya
yang pernah dibuat karena dipasarkan pada kelas rendah, guna memenuhi selera
dan kebutuhan hidup sehari-hari. Ada ketidakjujuran yang mengindap-indap
diantara idealisme dan realialitas sehari-hari.
Oleh sebab
itu, lukisan-lukisan Kyai Fuad dihasilkan untuk menimbang ulang tujuan
tersebut. Dengan kemampuan asketik dan ilmu agama yang dimiliki, Kyai Fuad
melakukan kerja kreatif agar lukisan-lukisannya tidak mengandung unsur-unsur mudarat
dan tidak ingin dikaitkan dengan persoalan duniawi (estetika dan materialisme) semata.
Sampai pada tataran material untuk karya, Kyai Fuad tidak ingin dipersoalkan.
Untuk itu ia memiliki bahan dan materi karya yang berkualitas tinggi.
Sering dikatakannya,
“Saya tidak pernah memperdulikan persoalan visual sebagai hal utama
lukisan-lukisan saya, karena saya tidak percaya pada dunia materi yang tampak.
Saya melukis, mencampur warna, dan menorehkannya sebagai upaya agar orang
melihatnya bahwa ini lukisan, bukan benda lain. Itu saja!” Bahkan pernah pada
suatu waktu ia melukis didampingi oleh rekan-rekan pelukis seperti Yusron
Mudhakir, Rusnoto Susanto, dan lainnya. Pada saat itu Yusron mengusulkan
ditambahkan unsur warna lain, maupun Rusnoto mengusulkan ide-ide teknik, Kyai Fuad
dengan mudah melaksanakan usulan tersebut. Rasanya, tanpa beban.
Fuad
mengaku bahwa ia melakukan hal tersebut karena ia tidak mengutamakan tujuan
akhir berupa visual yang seperti apa, namun lebih berkutat pada esensi untuk
apa ia melukis.[15]
Oleh sebab itu banyak kalangan seni seperti mahasiswa seni atau perupa yang
menonton karya-karyanya menganggap lukisan Fuad tak lebih dari sekadar
permainan teknik dan bahan[16] serta
terkesan monoton.
Lukisan-lukisan
itu semula dikerjakan dengan mengambil waktu khusus seperti pada siang
menjelang sore saat usai Sholat Jumat atau setiap setelah Majelis Maulid Simtud Duror[17]
di pesantrennya. Waktu-waktu semacam ini diambil karena ia merasa hatinya
bening dan suci untuk “menghadapi” kanvas. Kini mulai agak bebas, bisa
sembarang waktu.
Di samping
itu saat pertama melukis dulu ia tidak membolehkan orang lain melihatnya
melukis. “Ya, saya malu bila dilihat, karena saya melukis terkadang sambil menangis,
bergejolak air mata, dan hal yang sangat pribadi seperti berdzikir. Secara
pribadi sepadan ketika saya membaca kitab Dalail
Al Khoirat (Kumpulan bacaan sholawat
karya Imam Jazuli) yang
kadangkala tak perlu dilihat orang, di dalam kamar, menyendiri hanya untuk
membaca sebuah buku,” ujarnya. Namun selang beberapa bulan kemudian ia tidak
melarang siapapun melihatnya melukis. “Saya sudah bisa mengontrol intuisi dan
kondisi, sehingga tidak perlu merasa terganggu kini,” katanya.
Pesantren
rupanya menjadi studio paling ideal baginya. Ia menganggap bahwa aura spiritual
yang menjadi atmosfir tanah di pesantren dan sekitarnya jauh lebih baik dari
tempat yang lain. Pernah ia melukis di rumah istri keduanya, kira-kira 3
kilometer dari pesantren, namun hasilnya tidak memberi greget yang kuat pada
Kyai Fuad. “Semua ini disebabkan oleh radiasi energi yang pernah ditinggalkan
para kyai yang dahulu pernah mampir dan singgah di sini atau juga karena aroma
sholawat dan doa yang kerap diucapkan di sini sangat berpengaruh,” katanya. (ILUSTRASI: Pendopo
Pesantren)
Menariknya,
hasil karya yang telah usai diletakkan ditempat yang sangat terhormat, di
pendopo pesantren tempat mengaji dan sholat berjamaah sehari-hari (namun sejak
1 Agustus 2011, tempat sholat berpindah ke masjid pesantren). Sekilas terkesan
lukisan-lukisan tersebut disembah. Kyai Fuad percaya bahwa aura atau spirit atau
energi melalui mengaji, dzikir, dan
sholat akan mempengaruhi pigmen dan partikel-partikel pada lukisan-lukisannya.[18]
Pada awalnya ia menetapkan bahwa lukisan-lukisannya tersebut perlu waktu selama
40 hari. Kini, tak berlangsung lama, setidaknya kurang dari itu.
Jika
melihat hasil karya lukisnya selama 3 tahun ini dari perspektif gaya visual,
maka terlihat setara. Secara kasat mata lukisan-lukisan Fuad berkutat pada gaya
Abstrak,[19]
namun dengan catatan khusus. Abstrak yang diusungnya memang bukan Abstrak dalam
arti sesungguhnya yang diusung dalam perkembangan seni rupa Eropa.
Ia
menyatakan bahwa yang dilukis bukanlah benda, atau simbol tertentu, akan tetapi
lebih merupakan notasi suasana dan upaya untuk menarik aura dzikir yang di-materialisasi menjadi
lukisan. Lebih kurang semacam visualisasi energi yang secara terus-menerus
tidak pernah musnah, sebagaimana takdir energi itu sendiri: bisa beralih rupa
tanpa bisa menghilang. Sehingga saya lebih cocok mengusung gaya lukisan untuk
lukisan Fuad adalah Abstrak Transendentalisme.
KH.M. Fuad Riyadi, Setan Ora
Doyan Demit Ora nDulit, 145 x 90 cm, oil on canvas, 2010 (kiri) & KH.
M. Fuad Riyadi, 100000000000 SM,
160 x 360 cm, acrylic, oil on canvas, 2010 (kanan)
|
Transendentalisme
memiliki arti menyangkut hal-hal yang bersifat kerohanian, gaib, dan sering
dipahami sebagai sesuatu yang abstrak bagi penganut aliran materialisme. Tak
salah bila saya mengusulkan ide mengenai Transendentalisme sebagai pokok
pikiran dan idealisme Kyai Fuad dalam melukis. Sedangkan Abstrak adalah gaya
fisik atau pola ujar yang tampak oleh mata. Abstrak sebagai bentuk susunan
garis, warna, titik, tekstur, maupun komposisi adalah metode maupun cara ungkap
yang disusun sebagai media bagi narasi/pemikiran.
Istilah Abstrak
Transendental saya turunkan dari buah pikiran Kuntowijoyo atas sastra yang
berkembang di era 80- an di Jakarta: Sastra Transendental.
Saya
kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental, oleh karena tampak
aktualitas tidak dicetak oleh ruh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi,
kelas sosial, dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah kita yang otentik.
Kita terikat pada yang semata-mata konkrit dan empiris yang dapat ditangkap
oleh indera kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah sebuah
kesaksian lahiriah yang sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus
membebaskan diri dari peralatan inderawi kita.[20]
Kyai Fuad
meyakini bahwa gaya visual abstrak-lah yang paling cocok untuk dirinya. Bukan
hanya bersandar pada ayat-ayat suci yang melarang adanya tampilan makhluk hidup
pada lukisan, akan tetapi juga ada hal lain. Ia merasa bahwa gaya visual abstrak
adalah jalan paling jitu untuk mengumandangkan berbagai fenomena dan
pemikiran-pemikiran serta kualitas momentum yang dihadapinya ketika ia melukis.
Abstrak
adalah jembatan untuk menengarai dunia rasional dan irasional. pemikiran
semacam ini sangat cocok untuk mewadahi konsepsi ideal mengenai seni itu
sendiri. Seni bukanlah dunia sains yang rasional, namun juga bukan dunia agama
yang penuh dogma yang tak terkira oleh rasio. Akan tetapi seni dapat
dimanfaatkan oleh keduanya. Seni secara tersirat jika dikaitkan pada pribadi
dan karya-karya Kyai Fuad lebih merupakan sebuah konsepsi tentang karya manusia
yang mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman batinnya; pengalaman batin
tersebut disajikan secara indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya
pengalaman batin pula pada manusia lain yang menghayatinya.
Penjiwaan Kyai
Fuad atas dimensi spiritual dalam lukisan-lukisan disadari bukan sekadar ingin
membuat lukisan sebagai catatan jiwa (bandingkan dengan seni sebagai “jiwa tampak”-nya Sudjojono). Jiwa dan pikiran Kyai Fuad
saya anggap lebih menginginkan munculnya bentuk kesadaran spiritual sekaligus
memberi status baru lukisan sebagai media iman (pelaksanaan Rukun Iman dalam
Islam) bagi pelukis maupun yang nanti mengoleksinya. Oleh karena itu, lukisan Kyai
Fuad memang tidak mengutamakan bentuk, serta tidak pula mengutamakan permukaan.
Lukisan-lukisan Kyai Fuad sepenuhnya berisi dialog dalam dan antar energi yang
dilakukan secara mendalam, sesekali simbolik, dan puitis.
Dimensi
transendental yang dipayungi melalui gaya Abstrak Transendentalisme semacam ini
memang jauh mementingkan makna. Maka jika tanpa mementingkan makna, lukisan
akan terperangkap dalam permainan dan rekaan komposisi. Lukisan akan menjadi
pemuja bentuk dan lupa pesan moral dan spiritual yang menjadi kewajiban
pelukisnya untuk menyampaikannya ke tengah dunia yang semakin materialis dan
miskin makna. Oleh karena itu, melukis bagi Kyai Fuad bukanlah sebuah permainan.
Lukisan dan kerja melukis adalah dunia realitas yang setiap hari dihadapinya. Pikiran
semacam ini bersandar pada Al Quran dan Hadist Nabi yang mengungkap bahwa
kehidupan dunia hanyalah sebentar. Iman dan percaya pada Hari Akhir adalah yang
utama. Kesadaran inilah yang ingin dikawinkan oleh Fuad sebagai seorang kyai.
Dimensi
transendental yang digeluti oleh Kyai Fuad dalam bentuk lukisan juga bukan
sebuah kerja fisik yang turut mendukung hobi masa kecilnya. Alih-alih ia sedang
memfasilitasi dirinya untuk jadi seorang pelukis ternama, sama sekali bukan.
Sebagai kyai ia sudah cukup mapan, baik pada aspek ekonomi, sosial, eksistensi
maupun pada bidang ilmu agama. Dalam konteks ini melukis atau lukisan, jauh
lebih penting sebagai sebuah pergulatan konsepsi pemikirannya mengenai makna
hidup di dunia, daripada diartikan sebagai sebuah benda. Sepintas lukisan-lukisannya
memang tampak sulit dicerna bagi apresiannya, padahal sublim keberadaannya,
mahamulia eksistensinya.
Dimensi
transendental yang diekspresikan Kyai Fuad memang akan mendapat tantangan yang
tak berkesudahan. Di tengah dunia materialisme yang amat mengemuka seperti saat
ini, akan semakin banyak pula manusia yang terjebak dalam persoalan. Namun
justru di sinilah peran kyai pelukis maupun lukisan kyai ditegakkan, yaitu
sebagai bentuk proyeksi pemecah masalah, penyembuhan persoalan jiwa, maupun
sebagai katarsis atas suatu kejadian.
Dimensi
transendental yang termaktub dalam lukisan-lukisan Kyai Fuad patut dimaknai
sebagai sepetak ruang yang tak pernah selesai dikerjakan. Lukisan-lukisan Abstrak
Transendentalisme yang dibuatnya meskipun secara fisik hanya “sepetak”, namun menyimpan
segudang kesadaran yang tak berkesudahan. Dengan memakai pengibaratan,
lukisan-lukisan Kyai Fuad sebagai hasil dari menjenguk angkasa dan pulang
membawa ilmu dan pencerahan mengenai alam semesta. Tak berkesudahan, meskipun
sang pelukis memagari “sepetak” kertas dan menamakannya dengan sebaris judul.
Sedangkan
keberadaan judul dalam lukisan-lukisan Kyai Fuad berfungsi untuk menajamkan
ide-ide sublim yang didapatkan pada saat proses kerja kreatif berlangsung. Judul
karyanya adalah sebuah tanda bahwa ia telah memasuki sebuah ruang mental
psikologis. Judul tak berhenti sebagai sebuah abstraksi suasana batin sang
pelukis. Pendek kata, judul-judul karya tersebut berada sepadan dengan
pengalaman ekstase yang diejawantah dalam sebuah huruf dan kata.
Sebagai
sebuah karya yang beraliran Abstrak Transendentalisme, tentu keterkaitan dengan
dengan dimensi kesufian juga amat dekat. Seperti halnya yang dikemukakan oleh
Abdul Hadi WM. yang menyatakan bahwa banyak pengarang tidak berpretensi menjadi
sufi, mereka lebih menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dari pandangan
ahli-ahli. Dalam peradaban Islam, salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
mempunyai hubungan erat dengan seni adalah tasawuf. Begitu pula, para ahli sufi
yang banyak melahirkan karya-karya seni.[21]
Menariknya,
Kyai Fuad bukanlah seorang pelukis an
sich.Tidak salah bila kita harus menganggap bahwa lukisan Kyai Fuad
merupakan hasil kreatif sebentuk perilaku tasawuf dan laku sufistik yang
didasari oleh sikap-sikap transendental. Lukisan-lukisan Fuad adalah hasil
pengalaman suci[22]
yang tidak mudah dipahami orang awam, namun terasa mujaradnya. Inilah perbedaan
esensial lukisan kyai dengan karya pelukis profesional biasa.
Lukisan Alif & Rajah Sosrokartono
Tuhan
menciptakan dua jenis qalam:
Yang
satu, dari tumbuhan – memukau jiwa
dari
tunasnya memutik seni khat mempesona
Yang
lain dari bulu hewan, kilauan sinarnya bak permata
dan
memancur dari sumber air hayat
yaitu
kuas untuk membuat lukisan
Qadi Ahmat
Secara
garis besar hubungan antara seni dan religi di Indonesia tak pernah secara
substantif bertentangan, tidak juga saling melengkapi. Hubungan cenderung
insidental saja.[23]
Salah satu yang penting untuk dibahas di sini sebagai contoh hubungan seni dan
religi di Indonesia yang juga insidentil adalah karya yang berjudul Rajah Sosrokartono (2011).
KH. M. Fuad Riyadi, Rajah Sossrokartono,
akrilik pada kanvas, 90x145 cm, 2011
|
Dalam Rajah Sosrokartono kita akan bertemu
dengan realitas-realitas transendental yang merupakan capaian kreatif Kyai
Fuad, juga catatan-catatan pribadi mengenai persoalan masyarakat dan negara,
sekaligus mengendus jejak-jejak sejarah yang penting dalam pikiran pelukisnya.
Secara umum, Rajah Sosrokartono
bukanlah sekadar lukisan yang digubah karena keinginan sebagai anggota masyarakat
(baca: kritik sosial), namun juga dilatari oleh dimensi mistik, dan juga
perpaduan dari sekian banyaknya ilmu agama dan pengalaman hidup dirinya.
Secara
visual karya Rajah Sosrokartono
tampak sederhana. Di dalamnya hanya terdiri dari elemen huruf Alif berwarna
putih berukuran besar mendominasi kanvas, goresan tak rata berwarna hitam
dengan sedikit unsur kebiruan sebagai latarbelakang, dan goresan kecil-kecil
berwarna merah yang digoreskan tak teratur di sisi-sisi tertentu dalam bidang
kanvas tersebut. Tidak lupa salah satu elemen lain adalah adanya tulisan
berbahasa Indonesia berwarna hitam bening dengan tekstur nyata. Tulisan
tersebut cukup panjang, hampir memenuhi seluruh bidang kanvas. Bunyinya adalah
sebagai berikut.
Ilham melukis Rajah
Sosrokartono dipicu oleh kekaguman Gus Dur kepada sosok RM. Sosrokartono, kakak
kandung RA. Kartini itu. Makin lama ilham itu makin menggebu, sekaligus makin
menekan jiwa: semacam tugas agung yang sangat berat. Akhirnya pada 18 April
2011(Senin Legi 14 Jumadil Awal 1944/ 14 Jumadil Ula 1432 H) bakdal dhuhur yang
sangat gerah dan panas di luar kendali, terjadilah proses kreatif dzikir mistik
ini. 1 jam, dan langsung sedetik kemudian turun hujan deras yang tak kalah
agung dan suci (sedikit angin bersih dari kilat dan petir) selama kira-kira
satu jam pula! Alam pun menjadi sejuk dan syahdu. Bumi basah dan damai. Aku
jadi tahu, tak sembarang orang bisa mengoleksi lukisan ini. Hai, bukanlah
Maulud Manusia Teragung juga terjadi pada Hari Senin, kira-kira 14 abad yang
lalu? Wallohua’lam. Rajah yang dimaksud ialah: Alif, Alip, Alib, … (kata Alif atau Alip atau Alib bertebaran
merata di separuh kanvas bagian bawah: 71 kata tersebut sebelah kanan dan 75
kata tersebut sebelah kiri Alif putih besar, pen.)
Dari teks
ini saya membaca ada ekspresi dan ekspektasi Kyai Fuad yang luar biasa terhadap
lukisan ini. Karya ini secara tersirat diniatkan atas tiga hal: penanda pikiran
dan inspirasi besar mengenai situasi dan kondisi sosial-politik, dimensi
transendental yang mengemuka ketika proses kreatif lukisan ini dibuat, dan buah
peringatan atas sejarah Nabi yang terjadi jauh sebelumnya. Karena itulah pada
saat pertama kali saya mengunjungi pesantren Roudlotul Fatihah, Kyai Fuad
langsung menunjukkan karya ini dan mengatakan bahwa Rajah Sosrokartono adalah yang terbaik menurutnya selama ini,
“Meskipun secara visual menurut orang lain mungkin tidak menarik!” imbuhnya.
Rajah Sosrokartono adalah sebentuk “ziarah”pemikiran.
Tidak saja sebagai sebentuk penghormatan kepada Sosrokartono, akan tetapi juga
sebentuk petualangan atas hasrat menuju dan mendapatkan akses kesucian ilahi. Terbukti
munculnya teks dalam lukisan tersebut.
… sedetik kemudian turun hujan deras yang tak kalah
agung dan suci.
Selain
kepada Sosrokartono lukisan ini juga didedikasikan pada sosok Nabi Muhammad
yang lahir pada hari Senin dengan menuliskan sebagai berikut.
Hai,
bukanlah Maulud Manusia Teragung juga terjadi pada Hari Senin, kira-kira 14
abad yang lalu?
“Ziarah”
yang dilakukan Kyai Fuad jelas bukan dilatari karena berhati kecil dan tak
berdaya atas keadaan yang terjadi saat ini. “Ziarah” pada sosok Sosrokartono dan
Muhammad telah menggantikan pikirannya yang semula abstrak, kini termanifestasi
dalam sebuah huruf, nama, maupun gambar. Lukisan ini menjadi dunia antara
sekaligus titik temu berbagai hal.
Seperti
halnya diungkap oleh Chambert-Loir & Guillot yang mengatakan bahwa ziarah
makam merupakan titik temu yang istimewa antaragama. Hampir dimana-mana di
dunia Islam terdapat makam-makam orang-orang khusus. Pendeknya, dari makam
tersebut seolah-olah para wali telah menggantikan peran para dewa, sebuah
konsep pemikiran tentang keilahian di masa pramodern. Meskipun pernyataan wali
menggantikan dewa tak sepenuhnya tepat, hal ini menyiratkan sebentuk
keistimewaan manusia, setidaknya keistimewaan manusia di mata manusia yang
lain. Tak salah bila kemudian kultur ziarah memainkan peran penting dalam
penyebaran agama Islam.[24]
Kyai Fuad secara tidak sengaja memanfaatkan tradisi “ziarah” dalam proses kerja
kreatif ini.
Manusia
bernama Sosrokartono memang “orang khusus”. Kekhususannya bukan karena ia waliullah seperti para sunan penyebar
agama Islam atau sejenis syaikh di
dunia Arab. Bukan pula karena ia seorang elite negeri yang memiliki kekuasaan
untuk mengatur umat. Tidak juga karena ia bergelar pahlawan, seperti adiknya
Kartini. Tidak pula karena memiliki pondok pesantren dengan sejumlah santri. Sosrokartono
hanyalah manusia Jawa yang mampu membawa dirinya ke dalam khasanah Cinta-Kasih,
namun mampu bermanfaat bagi manusia lain, sehingga ia memang patut dikenang
sebagai sosok yang istimewa.
Sosrokartono
hidup antara 1877-1952 merupakan putra Bupati Jepara, R.M. Adipati Ario
Sosroningrat, yang mampu menjadi seorang sarjana penting di Eropa. Sosrokartono
merupakan orang pertama Nusantara yang belajar secara formal di Eropa, dimana
sebelumnya hanya utusan Jawa, budak, seniman (bernama Raden Saleh) yang sampai
di Eropa. Setelah sekolah di sebuah politeknik di Delf, ia melanjutkan di
Jurusan Bahas-Bahasa Timur di Universitas Leiden, Nederland, lulus 1909. Pergaulannya
yang luas menyebabkan dirinya diakui sebagi orang “jajahan” yang mampu dan
diakui kemampuannya di negeri Belanda, termasuk menguasai 20an bahasa negeri
Barat dan Timur. Ia menjadi orang pertama Indonesia dalam penampilan terbuka
ilmiah seperti yang terjadi saat Sosrokartono berbicara pada 29 Agustus 1899 di
depan “Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda XXV”. Pidatonya mendapat sambutan
yang sangat meriah. Pidatonya lalu diterbitkan dalam Neerlandia, Oktober 1899.[25]
Sebut saja
secara mudah, Sosrokartono adalah seorang nasionalis yang mampu menjadi sosok
Jawa yang khas. Karenanya ketika di Eropa ia digelari “Pangeran dari Jawa”. Ia
pernah bekerja sebagai jurnalis pada saat Perang Dunia I, pernah pula diminta
bekerja sebagai penerjemah di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selama 26 tahun ia
mengembara di Eropa. Karena berbagai konflik batin selama di Eropa menyebabkan
ia kembali ke Jawa. Di Bandung ia melakukan kerja sosial sebagai penyembuh bagi
mereka yang sakit fisik maupun non-fisik dengan mendirikan rumah bernama
“Dar-Oes-Salam”. Di samping itu ia juga mengajar di Tamansiswa cabang Bandung
bersama: Bung Karno, Mr. Sunaryo, Dr. Samsi, dan Usman Sastroamijoyo.
Reproduksi Sang Alif yang
dipasang di Rumah Perantara Surabaya, dulunya dipasang di antara ruang
tengah dan belakang Rumah Dar-Oes-Salam Bandung. Sumber foto: Dr. Abdullah
Ciptoprawiro, 1996
|
Dalam menjalani
hidup, Sosrokartono sangat memegang teguh berbagai prinsip hidup yang baik ala
Jawa dan Islam. Karena itulah Sosrokartono banyak sekali memberi pelajaran
penting bagi manusia lain. Diantara pelajaran tersebut adalah ketika ia
menuliskan dan memasang huruf Alif sebagai bagian dalam menjalani hidupnya. Dalam
surat pribadinya ia menulis demikian, “…ping
kalihipun perlu babat lan ngatur papan kangge masang Alif. (Masang alif punika
kedah mawi sarana lampah. Boten kenging kok lajeng dipun canthelaken kemawon,
lajeng dipun tilar kados mepe rasukan) (… kedua perlu syarat dan tempat
khusus untuk memasang Alif—memasang Alif perlu sarana khusus. Tidak bisa
digantung begitu saja, seperti menjemur pakaian).”[26]
Huruf Alif
yang dipasang oleh Sosrokartono ada beberapa buah. Pertama berupa sulaman benang putih di atas kain berwarna biru
muda, buatan Sosrokartono yang dibantu oleh rekannya Soepardi yang pernah
dipasang di atas pintu besar serambi muka dan tengah di Dar-us-Salam. Kedua, digambar sendiri oleh
Sosrokartono dengan menggunakan tinta Cina di atas kertas putih yang kemudian
diletakkan di dinding tengah serambi belakang. Ketiga, pernah pula Sosrokartono membuat rajah Alif pada kartu nama
putih dengan pensil merah lalu digores dengan cutter dan digunakan sendiri dengan direndam dalam air barang
sebentar. Pada lain waktu pernah pula Amin Singgih, pengurus Yayasan
Sosrokartono melihat huruf Alif dari sebatang lidi di atas meja Sosrokartono,
dan lidi tersebut diselipkan dalam pecinya sendiri.[27]
Ada pula dokumentasi foto yang menggambarkan huruf Alif yang ditulis oleh
Sosrokartono langsung pada papan tulis di rumah Dar-Oes-Salam yang berbunyi
sebagai berikut.
ا
Aum
Shantih - (Salam
Tenang)
Panta
Rei, Kai Ouden Menei –
(Ke Samudera Besar, Semua Berubah)
Kala
Aion - (Waktu
adalah Abadi)
Dibuatnya
huruf Alif oleh Sosrokartono menjelaskan sebuah prakiraan. Dalam hal ini harus
dipahami bahwa Sosrokartono menulis huruf Alif dalam berbagai perangkat dan
media adalah sebuah manifestasi sakral yang ingin disebarkan manfaatnya untuk
orang lain.
Dalam sebuah
penyataan dari Sumidi Adisasmito (saksi yang pernah bertemu langsung dengan
Sosrokartono) kemudian dikutip oleh Abdullah Ciptoprawiro[28]
menuliskan latar belakang Sosrokartono membuat dan memasang Alif di rumahnya.
Sosrokartono mengatakan bahwa ia tidak memiliki ilmu kebatinan, tidak mempunyai
japamantra (mantera) yang muluk-muluk
dalil yang pelik-pelik atau doa yang indah-indah. Saya hanya memegang teguh
laku tindakan, perbuatan “caturmukti”.
“Caturmukti”
yang diungkapkan oleh Sosrokartono ialah perpaduan empat faal jiwa manusia:
pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Kesatuan ini membentuk kasunyatan atau kenyataan atau kebenaran.
Barang siapa melakukan laku kasunyatan,
baik lahir dan batin dia akan mendapat kasunyatan
pula. Kasunyatan ini digambarkan
olehnya dengan huruf Alif, sebuah huruf Hijaiyah yang berupa garis tegak lurus,
tanpa tambahan apapun. Kasunyatan
atau kenyataan ini bukan monopoli siapapun, dapat dicapai oleh semua orang
asalkan memenuhi syarat, yaitu berhasil menyatukan 4 faal tersebut. Artinya
huruf Alif diejawantah sebagai kesatuan atau tegaknya antara pikiran, perasaan,
perkataan, dan perbuatan, lewat kebiasaan “Caturmukti”.
Abdullah
Ciptoprawiro sendiri berpendapat bahwa munculnya Alif dalam benak Sosrokartono
menyiratkan dua hal: pertama huruf
tersebut bersumber dari Al Quran, sebagai huruf pertama yang menggambarkan
kesatuan antara makhluk dan penciptanya; kedua,
jika dalam Serat Sastra Gendhing Alif
menggambarkan Dzat serta wujud Hyang
Widhi (Allah), sedangkan Alif
Sosrokartono adalah perumpamaan atau “wakil” Tuhan dalam melaksanakan misinya
mengabdi pada Allah.[29]
Bukan tidak
mungkin huruf Alif yang digambarkan oleh Sosrokartono merupakan seberkas ungkap
kesadaran sufistik. Alif mewakili jalan Islam menuju Allah atau sebuah peta
perjalanan menuju Ilahi, alias image of
path, yang sering diwakili dengan 4 tahap perjalanan tasawuf: sharia, tariqa, haqiqa, dan makrifa. Semuanya adalah sebuah jalan
menuju Allah yang terpancar dari Al Quran dan hadist Nabi Muhammad. Shariat adalah pelaksanaan fisik, tariqa merupakan jalan atau metode, haqiqa merupakan esensi pengabdiannya
dan makrifat itu antara hamba dengan
Allah tiada jarak”[30]. Lebur.
Menyatu. Tunggal.
Alif menjadi
perantara sebuah ingatan akan segalanya, seperti diungkap oleh penyair Sahl
at-Tustari yang mengatakan bahwa huruf yang pertama dan agung adalah huruf
Alif, yaitu Allah, yang menghubungkan (allafa)
semua wujud, akan tetapi tetap dan terpisah dari segalanya. Banyak pula yang
mengganggap bahwa Alif sebagai ciptaan pertama yang menciptakan huruf-huruf
lainnya.
Dalam perspektif
budaya Jawa,[31]
ungkapan tentang Alif juga menarik disimak. Berbagai kitab sastra gubahan para
raja, empu, dan sastrawan masa lalu juga banyak menyiratkan asumsi mengenai
keberadaan Yang Maha Tunggal yang dipersepsikan dalam huruf Alif. Sebagai
contoh dalam tembang Asmaradana (yang merupakan 1 dari 5 tembang dalam Serat Sastra Gending gubahan Sultan
Agung) menunjukkan bahwa Alif adalah “sejatining
sastra”(sejatinya keindahan) yang menunjukkan adanya Dat Mutlak sewaktu masih
dalam alam sunyi. “Dat mutlak dipun
arani, maksih wang-uwung kewala, iku jatining sastra ananes saestu tuduh, dupi
alif wus kanyatan.”
Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, R. Ng.
Ronggowarsito (1802-1875) juga menyebut Alif. Simak saja ungkapan tersebut, “ing nalika iku amung amustiya peputoning
tekat kang sentosa kaya ngibarating aksara Alif kan ajabar jer apes, unine
A,I,U, tegese: Aku Iki Urip, banjur anyipta brangta ing Dat supaya aja
kaengetan marang kan kari kabeh (pada waktu itu pusatkanlah semua kebulatan
tekat dengan sentosa, seperti dikiaskan dalam huruf Alif, dengan tanda-tanda jabar, jer, pes, yang berbunyi A,I,U
artinya: Aku Ini Urip (hidup) dan selanjutnya bergairah merindukan Dat, agar
tiada teringat yang ditinggalkan). Kesimpulannya bahwa Alif melambangkan hidup
manusia yang harus diarahkan pada Tuhan, melalui sikap hidup itu sendiri.
Lebih kurang
inilah sejarah ide Rajah Sosrokartono
karya Kyai Fuad yang dipameran pertama kali dalam Pameran Tunggal “Loco-spiritual”
di Jogja Gallery 22-29 Juli 2011 lalu. Ide mengenai persoalan sejarah sebagai
bentuk “ziarah” batin semacam ini tak mungkin hanya dilakukan sebatas
mendokumentasi pemikiran Sosrokartono semata. Di balik tujuan historis tadi
masih terdapat korelasi yang kuat pada aspek-aspek atau ide lain, terutama yang
terkait dengan isu-isu sosial yang ada disekitar kehidupan Kyai Fuad.
Kyai Fuad
menurut salah satu santrinya, H. Suwantara[32]
adalah sosok yang idealis, tegas namun lembut, dan tanpa ragu mengatakan tidak
pada siapapun. Ia tidak pernah merasa takut untuk mengungkapkan hal-hal yang
dirasakan disharmoni, meskipun di hadapan orang yang memiliki kekuasaan. Selain
itu, Kyai Fuad memiliki sensibilitas tinggi terdapat persoalan masyarakat. Maka
ketika melukis pun asumsi-asumsi mengenai persoalan yang terjadi disekitarnya
pun turut mempengaruhi.
Bahkan pada
setiap diskusi yang kami lakukan, Kyai Fuad sering mengungkapkan kegalauannya
terhadap persoalan bangsa Indonesia. “Kadang-kadang, ketika saya ziarah ke
makam Maulana Magribi di Parangtritis pun yang muncul dominan dalam benak saya
adalah Indonesia, Indonesia! Doa untuk Indonesia. Jarang sekali dan sering lupa
kalau saya juga dititipi doa oleh kawan, kerabat, atau santri,” ujarnya sambil
tersenyum. Oleh sebab itu lukisan-lukisannya secara langsung maupun tidak,
merupakan hasil buah pikirnya terhadap krisis bangsa ini, termasuk pada karya Rajah Sosrokartono.
Ia pernah
berujar pada saya bahwa Rajah
Sosrokartono memiliki energi yang dahsyat dan hendak dijual dengan harga
yang sangat tinggi. “Siapa yang akan mengoleksi akan menjadi Presiden Indonesia
nantinya,” katanya. Persoalan energi, harga, maupun siapapun yang memiliki,
bagi saya adalah pesoalan kedua, dan sangat mungkin bisa disalahartikan oleh
pembaca. Namun yang jauh lebih penting dalam hubungan ini adalah persoalan
harapan yang diungkapkan dalam lukisan tersebut. Setidaknya dari karya ini terungkap
ekspresi mengenai sosok yang mampu menjadi pemimpin negeri ini. Sang pemimpin
yang akan datang adalah “Sang Alif”. Secara simbolik “Sang Alif” adalah yang
teguh, yang tegak, yang memiliki hubungan dengan Yang Maha Atas secara mendalam,
dan yang mengerti bagaimana menyatukan berbagai persoalan (konsep tentang
penyatuan) antara alam dan manusia.
Asumsi
mengenai keesaan, konsep penyatuan--seperti yang dilakukan Sosrokartono--rupanya
telah dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Kyai Fuad dalam menjalankan kehidupan.
Sebagai pribadi yang lahir dalam alam budaya Jawa dan Islam ia mengalami
pergumulan berbagai kenyataan yang menggumpal, hingga akhirnya menjadi eksisten
yang khas. Semoga saya juga tak salah duga bahwa pribadi Kyai Fuad menyimpan
sisi kebatinan yang kuat. Sepadan dengan konsep mistisisme kebatinan yang
digulirkan oleh Niels Mulder.[33]
Mistisisme kebatinan memandang eksistensi manusia dalam sebuah konteks
kosmologis, menjadikan kehidupan itu sendiri sebagai pengalaman religius. Dalam
pandangan ini, tidaklah mungkin memisahkan yang suci dari yang profan, yang
sakral dari yang sekuler, keduanya memiliki andil dalam kesatuan eksistensi.
Pengertian
kebatinan mengisyaratkan bahwa manusia memiliki sifat lahir dan batin dalam
potensi, dan dua hal tersebut akan terus berhubungan. Mulder juga menuliskan
bahwa menjadi kewajiban bagi setiap manusia untuk menegakkan keselarasan antara
aspek luar dan dalam dari kehidupan, dalam pengertian bahwa batin harus selalu
membimbing lahir. Jika sudah begitu kehidupan akan diselaraskan dan sejalan
dengan prinsip-prinsip ketunggalan pamungkas.[34]
Maka tak
diragukan lagi bila perjumpaan “dua dunia” pada saat Kyai Fuad melukis Rajah Sosrokartono menjadi nyata adanya.
Persoalan politik, isu sosial, aura dzikir,
hujan dan angin, kanvas dan cipratan warna menyatu menjadi sebuah “petunjuk”. Mirib
puisi yang tertera pad sub-bab ini, sebuah petunjuk yang dikeluarkan oleh
“tunas tetumbuhan” dan “bulu hewan yang dicelup air hayat” yang nyata
menyandang dua qalam sekaligus yakni
sebuah seni khat dan lukisan yang mempesona. Tidak tanggung-tanggung, lukisan ini
telah menyandang menjadi sebuah rajah:
suratan (gambaran, tanda-tanda) yang mungkin akan terjadi. Tentu saja lukisan
itu menjadi amat berharga.
Rajah: Seni “Keramat” dalam Kehidupan Pascamodern
Tujuan
Sayyidina Ali menulis indah
Tidak
hanya menegaskan huruf dan titik
Lebih
mendalam, tujuannya ialah kemurnian dan kebajikan
Qadi Ahmad
Mungkinkah
sebuah lukisan menjadi benda keramat, mengalami penjimatan? Bagi kalangan
intelektual dan radikal Islam, hal tersebut dianggap tabu, tak ilmiah, tak
mungkin untuk dibicarakan, serta haram hukumnya karena syirik.[35] Mengeramatkan
benda apapun bagi sebagian orang adalah pemberhalaan, tanpa melihat orientasi
apa di balik benda tersebut. Namun bagi sebagian yang lain, hal semacam ini
lumrah dan nyata adanya.
Mari kita
telusuri kesaksian singkat di bawah ini, mungkin bisa menjadi pelajaran yang
menarik.
Menurut
H. Suwantara[36]
ada sejumlah testimoni realitas di luar nalar tentang kebergunaan lukisan Kyai
Fuad. Salah satu diantaranya adalah pada diri Pak Karyan. Peristiwa ini terjadi
pada bulan Juni 2011. Pak Karyan adalah pemilik warung makan yang tinggal di kawasan
Duri Tambora Jakarta. Warung makannya sangat laris. Banyak sekali orang yang
memakan di sana. Suatu kali Pak Karyan memberitahu pada Mahdi (rekan Pak Wan atau
H. Suwantara yang mengenal Pak Karyan) kalau sedang sakit keras. Perut Pak
Karya seperti diinjak-injak. Pak Karyan sendiri sudah memeriksakannya pada
dokter. Sayangnya dokter tersebut tidak menyatakan adanya sesuatu yang
mencurigakan yang membuat sakit.
Sejak
itu Mahdi dan Pak Wan menyimpulkan bahwa kemungkinan Pak Karyan menyimpan
“sesuatu” dan menjadi korban atasnya. Rupa benar, Pak Karyan mengaku memiliki
tumbal berupa keris (di dalamnya tersimpan jin Buto Ijo) untuk penglaris
warungnya. Untuk itu Pak Karyan harus memelihara keris tersebut dengan cara
memberi sesaji berupa bunga Kanthil, rokok, kopi, dan beberapa lainnya setiap
waktu tertentu. Kalau tidak ada, pasti “ngamuk”. Kejadian sakit seperti ini pun
sesungguhnya sudah sering dialami oleh Pak Karyan. Ia tidak menyangka kalau
efeknya sedemikian rupa.
Lukisan KH. M. Fuad Riyadi, Gunung Mas (2011) yan belum sempat di pamerkan (kanan) dan keris yang merupakan peninggalan Pak
Karyan (kiri)
|
Sehari
setelah dipasang Pak Karyan pun sembuh, sekaligus ia telah menjadi kolektor
lukisan milik Kyai Fuad.
Setelah
itu tak ada lagi perasaan takut maupun sakit, baik pada diri Pak Karyan maupun
istrinya. Ternyata setelah diusut, Pak Karyan memang memiliki perjanjian khusus
dengan jin simpanannya, termasuk tidak boleh “menyentuh” istrinya. Sampai saat
ini, mereka masih “memelihara”[38] lukisan
Kyai Fuad dengan memajangnya di warung. Kisah ini pun akhirnya menyebar ke
seluruh kampung dan sekitarnya. Akhirnya beberapa orang juga memanfaatkan
“khasiat” lukisan Kyai Fuad untuk berbagai keperluan dan penangkal aura jahat.
Kisah
ini hanya merupakan satu gambaran fungsi lukisan yang bersifat spiritual. Ada
beberapa lagi yang lain yang mencerminkan sikap-sikap yang menunjukkan pada
tataran spiritual yang lebih spesifik. Lukisan Kyai Fuad tidak hanya sebagai
penangkal masalah hidup (yang dianggap oleh sebagian orang terlalu merendahkan kharisma
kyai), namun beberapa kisah yang lain juga memberi perspektif lain yang
menggambarkan para pemiliknya merasa lebih dekat dengan Allah dan Rasulullah
setelah mengoleksi karya Kyai Fuad. Ada yang merasa ketika melihat lukisan
tiba-tiba tanpa sadar mengucapkan kalimat-kalimat suci. Ada pula yang merasa
bahwa lukisan Kyai Fuad memberi sensasi virtual yang tak terendus oleh pikiran.
Inilah
realias pascamodern, dimana sisi irasionalitas bertemu dengan sisi rasionalitas
yang melingkupi. Dunia pascamodern memberi peluang hidupnya berbagai entitas
yang dahulu--pada masa modern memuncak--dipinggirkan. Trend hidup pascamodern
telah menggantikan suasana yang terlampau rasional, sekaligus yang terlalu mengandalkan
intuisi dan dogma agama semata. Pascamodern telah memecah keheningan hubungan
antara keduanya, yang sekuler dan yang sakral, yang profan dan yang suci, yang
tinggi dan yang rendah, yang elite dan yang merakyat.
Seni
sebagai bagian dari kehidupan telah menjadi jembatan penting bagi perubahan trend
dan hidup manusia, termasuk dalam era pascamodern ini. Sebagaimana diungkap oleh
I. Bambang Sugiarto.
Dalam
situasi postmodern saat ini seni dapat berperan merayakan dan mempertinggi
kesadaran atas dimensi terdalam di balik jatuh-bangunnya manusia,
mengkomunikasikan secara menyentuh dilema batin dan utopia yang tersembunyi di
lubuk batin manusia, mengatasi batas dan sekat yang kontra produktif antar
agama. Dengan itu semua, seni yang paling ‘sekular’pun akan mampu
memperlihatkan kelebatan-kelebatan dimensi transendensi, dan karenanya
‘religius’, atau lebih tepat, ‘spiritual’. Sebaliknya seni yang secara formal
religius pun, manakala tak tanggap terhadap persoalan mendasar dunia manusia,
akan mandul dan tak seberapa bermakna. Paling banter hanya akan berperan
sebagai hiasan atau hiburan semata.[39]
Kebergunaan
lukisan bagi seseorang, baik sebagai benda hiasan atau hiburan yang sangat
disenangi, investasi yang berharga mahal, maupun sebagai benda yang “berkhasiat”
sudah menjadi hal lumrah. Fungsi seni memang tak pandang bulu. Rajah Sosrokartono karya Kyai Fuad,
tasbih para wali, cincin Sulaiman, sulaman atau goresan Alif karya
Sosrokartono, keris Kyai Sengkelat milik Kanjeng Sunan Kalijaga,[40]
makam Nabi Muhammad, masjid Demak, sampai Masjidil Haram dengan Kabah-nya dalam
perspektif formal adalah benda seni. Semua itu secara fisik merupakan “lukisan”
dan “patung” buatan manusia yang berdaya guna bagi kehidupan seorang Muslim.
Akankah
benda-benda semacam ini menjadi lebih atau berkurang nilainya, dilestarikan
atau dimusnahkan, hanya karena ia berbeda fungsi? Saya tandaskan tidak. Semua
sangat bergantung pada pola pandang terhadap benda berupa “lukisan” atau
“patung” dan sejauh mana si pemilik/kolektor (atau si pelukis sendiri)
mengapresiasi. Keberadaan benda semacam ini memang tak mungkin dijelaskan
peringkat estetiknya, karena memang tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Untuk
itulah dibutuhkan perspektif spiritual yang lebih dari sekadar pembahasan
estetik maupun rasio dalam melihat “lukisan” maupun “patung” semacam itu.
Mantera-mantera,
azimat dan ramalan pun disebut dalam Al Quran, Hadist, dan karya-karya teolog
Islam termasuk Ibnu Khaldun dan Imam al-Ghazali. Penggunaan guna-guna, azimat,
dan sihir hampir merupakan bagian dari unsur universal Islam rakyat. Namun ada
perbedaan pendapat mengenai legalitas, moralitas, dan konsekuensi akhir dari
sebuah praktik sihir. Praktik sihir dalam teori-teori Islam didasarkan pada 4 skema
klasifikasi: disebabkan oleh alam, kekuatan gaib, tindakan manusia dan ilahi,
syirik dan permohonan.[41]
Bagi sebagian
ahli, kesaktian dan kekeramatan adalah bagian dari persoalan akal atau rasio
tak kuasa menggapainya. Eksistensinya di akui dari zaman ke zaman. Rasulullah
SAW. sendiri pernah menggunakan mantera yang digunakan untuk meniadakan
pengaruh buruk, tenung jahat, dan gigitan ular dan kalajengking. Al Quran
sendiri menyiratkan perlindungan terhadap gangguan makhluk lain, meskipun tidak
menjelaskan metodenya, seperti yang tertera pada Surat Al Falaq (113: ayat 2-5) maupun Surat An-Nas (114: ayat 2-6).
Pandangan Jawa
kontemporer mengenai kesaktian dan kesalehan juga disematkan sesuai masanya.
Pertautan persoalan syirik di Indonesia (yang dianggap oleh Muslim berasal dari
budaya Hindu-Budha di Jawa kuno), kekeramatan dengan pemikiran masa kini lebih
banyak merupakan warisan yang tak seluruhnya lekang. Dalam beberapa hal
kesatuan dua agama yang berbeda ini sering disebut sinkretisme, meskipun tak
mudah menyederhanakan persoalan ini. Di kalangan Jawa tradisional, saling
ketergantungan ritual antara komunitas santri dan kejawen adalah cara untuk
memperhalus perdebatan ini, meskipun Muslim-Jawa tidak pernah bebas dari
perselisihan keagamaan.[42]
Bagi saya
justru inilah peluang dam modal bagi bangsa ini untuk memperkenalkan diri
sebagai entitas yang menarik. Lukisan Rajah
Sosrokartono menjadi sebuah ekspresi individual-lokal yang memungkinkan
hadir di tengah perkembangan seni rupa kontemporer di Yogyakarta yang
mengglobal. Rajah Sosrokartono
sebagai buah karya sinkretisme Islam-Jawa adalah karya yang lengkap untuk
diperbincangkan lebih lanjut. Rajah
Sosrokartono layaknya “dunia antara” yang menghadirkan dan menguji
keseimbangan kosmos, agar tak lagi chaos.
Sangat sulit
menjawab dan mengakhiri perdebatan fungsi seni diantara kekeramatan, estetika dan
rasionaliras. Namun Rajah Sosrokartono
sudah memberi jawaban yang jelas, tuntas, serta puitik. Tak perlu
dijelas-jelaskan, rasakan saja. Bagi yang hanya paham dalam konteks estetik
pahamilah dari perspektif tersebut. Jika mampu memasuki dimensi mistik, maka
pintu terbuka lebar. Inilah jasa seni lukis dalam konteks fungsi, meskipun
nantinya juga memunculkan kritik bahwa benda berupa lukisan berjudul Rajah Sosrokartono hanya sebagai benda
arkeologis, magis, alias bukan karya seni.
Karya
seni memang tidak bisa dilepaskan dari siapa yang membuatnya. Kyai Fuad adalah
orang dibentuk oleh dua dunia: akademis dan pesantren. Kedua dunia digeluti
dengan sangat intensif. Kedua dunia ini mengakar menjadikannya sosok
ulang-alik. Ia adalah intelektual quasi
pesantren, atau santri quasi
akademis. Maka jika Taufik Abdullah[43] dalam
tulisannya menyebut bahwa ada ideologi kebudayaan yang diperjuangkan oleh “intelektual
Barat” dan “intelektual surau” pada masa lampau, kini jelas bahwa Kyai Fuad
adalah bagian dari keduanya. Inilah satu (diantara banyak) wajah seni(man) kita
pada era Pascamodern ini.
Jika
memasuki kritik semacam ini semua harus berpulang pada niat. Sekali lagi benahi
niat Anda sebelum melihat dan membeli karya seni. Di luar itu semua, saya
hendak mengusulkan niat untuk mendekati Rajah
Sosrokartono sebagai sebuah “Sketsa Kasih”, “Surat Cinta”, “Teks Kebajikan”
Kyai Fuad kepada Allah. Niat ini mungkin akan mendinginkan hati di tengah
gemuruh dan debat soal kesaktian, estetika, kebatinan, maupun soal ideologi
Islam. +++
Dilihat secara
visual yang tertera di sana adalah ruang mahaluas yang tak mampu digambarkan
dimana manusia berada, karena manusia memang terlalu kecil dibanding dengan ruang ciptaan Allah. Artinya
Kyai Fuad tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menggubah ruang mahaluas
tersebut dalam kanvas dan kertas. Tuhan mungkin seperti kita kala memegang
selembar sketsa Semesta, alam semesta
hanya sebatas di tangan-Nya. Mungkin juga lebih kecil lagi. Sekilas gambaran
tentang kedirian sebagai manusia yang kecil sekaligus sebagai pencipta karya tidak
diungkapkan secara representatif oleh Kyai Fuad, namun justru dengan memberikan
objek dan suasana dalam kanvasnya. Itu pun hanya dengan percikan warna.
Banyak orang yang
mengatakan kelemahan alterego atau seni lukis non- representasional adalah
tanpa kesepakatan, sehingga melahirkan perdebatan perihal “kebenaran”. “Benarkah
itu wajah Tuhan? Sungguhkah
semua itu adalah penampakan roh dan jejak malaikat?” Pertanyaan dan keraguan
semacam ini memang selalu akan muncul. Yah, namanya juga pernyataan dan
ungkapan individu, niatannya tentu saja berasal dari subjektivitas.
Penulis adalah staf
pengajar ISI Yogyakarta.
Alter-ego: Seni Lukis Non-Representatif ala Kyai Fuad
Oleh
Mikke Susanto*
Seni Islam
selalu berbicara mengenai hubungan yang kuat antara estetika dan spiritualitas.
Para perupanya menciptakan komposisi titik, garis, warna, dan tekstur sekaligus
melakukan praktik rohani dalam bentuk apapun. Tak salah bila kompleksitas Islam
sebagai suatu kepercayaan di satu sisi, sekaligus sebagai sistem sosial yang
memiliki haluan tertentu telah memastikan bahwa di setiap tempat dimana Islam
berpijak, di sana Islam telah mengilhami keberagaman ekspresi seni yang
mengagumkan. Jawa--secara khusus di antaranya Yogyakarta-adalah satu entitas
penting dalam pembahasan seni dan religi Islam di dunia.
Kyai Haji
Muhammad Fuad Riyadi atau Kyai Fuad adalah eksisten dari entitas tersebut. Ia
dengan sengaja membuka tirai nuraninya untuk melakukan rekam estetik selama 3
tahun terakhir. Hasilnya adalah buah karya seni lukis yang tak sekadar
berfungsi untuk mengindera yang kasat mata, namun juga meraba ruang senyap alam
pikiran yang telah mengalami pergulatan spiritual. Nyata sekali bahwa
keberadaan rekam jejak tersebut bukan semata-mata untuk menjalani ritual
kreatif lahiriah, akan tetapi juga mewadahi khasanah amaliahnya sebagai manusia
ciptaan Allah. Rekam jejak yang tertera dalam kanvas-kanvasnya sering dianggap
oleh sebagian apresian sebagai “Surat Cinta”, “Teks untuk Kekasih”. Bagi saya,
yang lebih mendasar adalah lukisan-lukisannya ibarat suguhan rasa syukur kepada
dan perasaan intimnya dengan Allah serta Rasulullah.
Dalam
perbincangan santai ia mengaku bahwa melukis bukan saja perkara melakukan
tindak kreatif pada sebidang kanvas atau menjual karya untuk kepentingan
berbagai hal, namun lebih dari sekadar itu. Melukis adalah bagian dalam syiar
Islam yang diembannya. Melukis adalah media silahturahmi sesama manusia. Dengan
melukis ia merasa dekat dengan satu masyarakat tertentu untuk mendapatkan teman
sebanyak mungkin. Dengan melukis ia merasa mengenal pribadi-pribadi maupun
pengalaman-pengalaman yang baru dan berbeda dari sebelumnya.
Pengalaman
spiritual, asketisme, dan hubungan antara sesama yang dikembangkan sebagai
perasaan cinta kasih sampai saat ini menjadi dasar pijak pergulatannya dalam
lukisan. Tema-tema yang dikerjakan bersumber dari pemikiran bahwa setiap diri
manusia berhak untuk menjadi insan yang dekat dengan Sang Pencipta, yakni Allah
SWT. Tak salah bila yang secara lahiriah mewujud di dalam lukisan-lukisannya
adalah pergumulan noktah, serumpun garis, ciprat dan lelehan air, dan
berkas-berkas warna yang dibuat secara sengaja atau yang alamiah.
Dalam
perspetif seni rupa, lukisan-lukisan semacam ini sering disebut sebagai seni lukis
non-representasional.
Istilah ini berasal dari kata
“representasional” dengan kata dasar present
artinya “hadir, nyata, ada” yang bermula dari kata dalam bahasa Latin “repraesentatio(n-)” atau “repraesentare” yang berarti
“bring before, exhibit”. Dalam arti yang umum representation atau
representasi merupakan deskripsi atau potret seseorang atau sesuatu yang
biasanya dibuat atau terlihat secara natural. Sedang menurut Raymond
Williams, Keywords, A Vocabulary of
Culture and Society, istilah ini merupakan tipikal yang sering digunakan
dalam mendeskripsikan beberapa karakter dan situasi. Sejak abad ke-19 istilah “representasional”
telah dipakai untuk mengidentifikasi elemen seni beraliran Realisme dan
Naturalisme. Kemudian banyak diartikan the
visual embodiment of something, dengan kata lain secara khusus ia haruslah
merupakan reproduksi yang akurat (dari
alam).
Sedangkan
seni lukis non-representasional
adalah lawan dari seni lukis representasional.
Seni lukis non-representasinal dalam konteks umum merupakan ciptaan-ciptaan
yang terdiri dari susunan garis, bentuk dan warna yang sama sekali terbebas
dari ilusi atas bentuk-bentuk di alam, tetapi secara lebih umum, ialah seni di
mana bentuk-bentuk alam itu tidak lagi berfungsi sebagai objek ataupun tema
yang harus dibawakan, melainkan sebagai motif saja. Disamping itu, seni lukis
non-representasional menjadikan imajinasi dan alam pikir subjek (pelukisnya)
menjadi rujukan utama, meskipun penonton memiliki hak yang sama untuk
mengartikulasi tebaran teks yang ada di dalamnya.
Seni lukis
non-representasional memang tidak bertujuan seperti layaknya seni lukis
representasional yang memiliki variasi fungsi: misalnya sebagai gambar rencana,
dokumentasi atau memiliki unsur “keterbacaan” yang kuat. Seni lukis
non-representasional memiliki fungsi utama yakni sebagai sebuah ruang individu
untuk melahirkan khasanah yang bersifat alter-ego atau “aku yang kedua”. Alter-ego
didedikasikan untuk menjadi sekumpulan teks dari yang tampak nyata adanya. Ia hadir
seperti pasangan intim dari seseorang yang secara lahiriah dimanifestasikan.
Namun meskipun sebagai yang “kedua”, ia menjadi bagian penting untuk
menunjukkan yang siapa sesungguhnya yang “pertama”.
Sebagai
contoh, ketika melihat sebuah lukisan potret diri karya Basoeki Abdullah yang
secara gamblang merupakan seni representasional. Di sana tampak gambaran
sebidang wajah dengan mata, hidung, telinga, dan berbagai pernik karakter hal
tersebut mungkin sering dianggap sebagai wujud seseorang yang kasat mata. Kini bila
melihat lukisan Kyai Fuad yang diberinya judul Jejak Roh, Jejak Wahyu, Rindu, dan banyak lagi lainnya yang
hanya terdiri segumpal warna, selarik baris, maupun seberkas tekstur semu
adalah wujud dari alternasi diri sang Kyai. Ia sedang melukis diri dan
kesejatian tentang sesuatu dengan mengambil saripatinya.
Cara semacam ini
memang memberi peluang berbagai hal dibanding dengan cara yang harus dilalui
seni lukis representasional. Dengan cara ini, Kyai Fuad akan berada pada ragam
situasi yang diinginkan. Tengok saja karya 100000000000
SM (baca: Seratus Milyar Sebelum Masehi),
atau sketsa bertajuk Semesta. Karya
tersebut secara visual amat sederhana, diciptakan hanya dengan cipratan warna
pada ladang warna yang mendasari terlebih dahulu. Lukisan dan sketsa tersebut
mampu dengan indah menggambarkan situasi dimasa lampau hanya dengan sebidang
kanvas pada satu detik diantara milyaran waktu yang diasumsikan.
100000000000
SM (kiri) dan Semesta (kanan)
|
Sifat seni
lukis non-representasional juga dapat mengatasi ruang-waktu yang tak terjangkau
oleh rasio. Berbagai karya-karya yang bersifat ungkapan perasaan amat
membutuhkan sifat dan kemampuan yang dimiliki lukisan non-representasional. Karya-karya
yang bertajuk Selimut Kasih, Sayap-sayap Keberanian, Planet Cinta, Taqwa, Sperma Rindu, Tonggak Kemenangan, dan
beberapa lainnya yang menyiratkan situasi rasa yang diyakini tidak saja sebagai
potret pelukisnya, namun juga sebuah ungkapan rasa bagi apresiannya. Kyai Fuad
tidak lagi memerlukan subjek yang hadir secara utuh di depan mata seperti kebanyakan
pelukis yang membutuhkan model atau foto sebagai model. Kyai Fuad hanya cukup
berlayar melampaui ruang-waktu yang dimilikinya dan semaunya untuk melukis
semua itu.
Seni lukis
non-representasional tak hanya mampu menggoreskan isi perasaan, tetapi juga mengartikulasi
dimensi mistik, non-jasmani, dan abstraksi tokoh yang selama ini kerap
diperdebatkan eksistensinya, sehingga dapat mewujud secara kasat mata.
Lukisan-lukisannya yang bertajuk Roh;
Atlas Asmara; Benih Bima; Wirid Keteguhan adalah
sebagian contoh yang hadir dengan indah. Lukisan mengenai roh, asmara, tokoh
Bima, sifat teguh yang selama ini hanya mampu diucapkan di bibir, kini hadir
meskipun dengan cara yang tak semua orang mampu menyuratkan. Momen dan dimensi
mistik, sifat non-jasmani semacam ini mampertautkan pikiran kita secara
bersama.
Roh
(kiri) dan Jejak Malaikat (kanan)
|
Jangan
lupa justru subjektivitas dalam seni non-representasional adalah utama, berbeda
dengan seni representasional yang harus disepakati
secara bersama-sama antara individu. Setidaknya subjektivitas telah menyumbangkan
serangkaian kreativitas dari individu tentang hal yang terkait dengan kajian
tertentu, diantaranya arena spiritual. Inilah alterego Kyai Fuad secara visual
yang mengakar dari pengalaman-pengalamannya selama ini. Karya-karyanya adalah
ungkapan pengalaman sebagai seorang kyai. Ia tengah memotret dirinya sendiri.
Subjektivitas
di dalam seni non-representasional tidak senyata-nyata menyumbangkan wacana
tentang “kebenaran dan kesungguhan” dalam rupa, wujud, atau visualisasi seperti
halnya dalam seni representasional. Dalam lukisan-lukisan Kyai Fuad rupa, wujud,
dan visualisasi segala hal hanyalah media untuk mengatasi kekosongan dan
ketegangan perdebatan soal yang mistik, yang non jasmaniah, dan yang tak
bertabir selama ini. Sehingga fungsi lukisan tidak hanya untuk mewadahi
persoalan wujud, jasmani atau tabir,
akan tetapi juga mengarungi dimensi non ragawi. Apakah ia tengah menggambar
malaikat seperti dalam karya Jejak
Malaikat atau tengah menggambar roh dalam karya Jejak Roh? Bukan. Ia tidak sedang mematut malaikat agar ada di
depan kamera dan dilukisnya. Jejak malaikat dan roh adalah alternasi atau media
pengganti ingatan manusia bahwa ada eksistensi malaikat dan roh dalam pikira
Kyai Fuad.
Puluhan
benda angkasa yang mengecil seperti karya bertajuk 100000000000 SM atau
sebentuk tapak yang mengejawantah dalam karya Jejak Malaikat adalah
proposal yang diberikan oleh Kyai Fuad tentang dunia yang sedang dialaminya.
Keunggulan karya-karya ini justru terletak pada “siapa yang melukisnya?” atau
“sejauh mana sang pelukis mengalami dan mengarungi dimensi mistik atas sesuatu yang
dilukisnya”. Kedekatan pelukis--dalam hal ini pengalaman empiris berlayar pada
wacana sejarah dan mistik--dengan objeknya tentu saja menambah nilai, baik nilai
kajian atau nilai ungkap. Nilai semacam ini nantinya memunculkan makna
“kebenaran” yang ingin dicapai, seperti halnya “kebenaran” dalam seni lukis
representasional yang disepakati bersama. Kedekatan antara pelukis dan apa yang
dilukisnya inilah yang melahirkan nuansa lain, termasuk di dalamnya aura maupun
efek non-fisik bagi penonton.
Kesepakatan
atas “kebenaran” seperti pada karya Kyai Fuad hanya bisa diperoleh dan diakui
ketika sang kolektornya mungkin mengalami “sesuatu yang lain”. Entah berupa
situasi yang tak terfasilitasi secara jasmani atau secara fisik. Mungkin
memberi pengaruh terhadap mental sang kolektor lukisan Kyai Fuad. Dari berbagai
kesaksian para kolektor karya Kyai Fuad dapat diresapi bahwa mereka mengalami
situasi yang tak terukur dengan rasio maupun media yang bersifat lahiriah. Ada
kolektor yang merasa penyakitnya sembuh setelah membeli karyanya. Ada yang
merasa ketika melihat lukisan tiba-tiba tanpa sadar mengucapkan kalimat-kalimat
suci. Ada pula yang merasa bahwa lukisan Kyai Fuad memberi sensasi virtual yang
tak terendus oleh pikiran.
Sejauh ini
lukisan Kyai Fuad tak hanya berfungsi untuk dirinya sendiri sebagai pengejawantahan
alterego dari semangat untuk mencapai kebebasan individual. Lebih dari itu
adalah bahwa seni lukis non-representasional Kyai Fuad telah membakar dan
membongkar konsep seni agar lukisan Abstrak tidak sekadar sebagai motif dan pola
hias semata. Jadi benarlah bahwa seni lukis karya Kyai Fuad turut mendukung
konsep seni Islam yang selalu mengaitkan antara estetika dan spiritual. Bukan
tidak mungkin lukisan-lukisan ini adalah tanda yang dibuat oleh manusia bernama
Fuad sebagai seorang kyai, bukan Fuad sebagai pelukis an sich. Mungkin inilah “kebenaran” alias “kesepakatan” baru dalam
melihat seni lukis non-representasional ala Kyai Fuad. +++
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
Risalah Rajah Sosrokartono Lukisan Profetik KH. M. Fuad Riyadi di Era Pascamodern Oleh Mikke Susanto Kita sedang m...
-
Bismillahirrohmanirrohim Assalamualaikum.w.w Kyai Fuad Peret Seorang Kyai {Guru Agama} Pendiri Pondok Pesantren Traditional ...
-
Foto Swaktu Pameran Lukisan Sang Kyai Peret - Bantul - Yogyakarta - Indonesia ...
-
Info Pondok Pesantren Traditional Roudlatul Fatihah Sahirudin / Sulaiman Qhorin Pleret - Bantul - Yogyakarta - Indonesia Call +6281...