Spiritual Art

Spiritual Art

Translate

SENIMAN HIKMAH DAN SPIRITUAL TINGKAT TINGGI


Bismillahirrohmanirrohim
Assalamualaikum.w.w

Kyai Fuad Peret

Seorang Kyai {Guru Agama} Pendiri Pondok Pesantren Traditional Roudlotul Fatihah
Dianugrahi Oleh Alloh Banyak Ilmu2 Hikmah Yang Sangat Tinggi Yang Pastinya Sangat Bermanfaat Bagi Banyak Ummat Manusia
Akal Sangat Terbatas Tak Akan Mampu Memikirkan Yang Sangat Tak Terbatas
Sang Kyai Selain Sebagai Guru Agama Dan Spiritual Beliyau Juga Seorang Seniman Yang Banyak Dikenal Orang Sebagai Pelukis Abstrak Transendentalisme
Lukisan Beliyau Sangat Banyak Mengandung Hikmah Dan Spiritual Yang Sangat Tinggi
Lukisan Belyau Bukan Sembarang Lukisan Dan Yang Pasti Sangat Berbeda Dengan Lukisan Orang Lain
Beliyau Melukis Menurut Syareat Dan Menjauhi Larangan2 Syareat Sehingga Lukisan Tersebut Akan Menjadi Berkah Bagi Sang Pemilik Dan Tidak Dimurkai Sang Pencipta Keindahan
Sering Kali Beliyau Sebelum Melukis Melakukan Pendekatan Kepada Sang Pencipta Keindahan
Dengan Melakukan Uzlah,Puasa,zdikir Sampai Berminggu2 Bahkan Sampai Berbulan Bulan Sampai Dapat Petunjuk Dari Sang Pencipta Keindah Untuk Melukis Tak Heran Jikan Lukisan Beiyau Banyak Mengandung Hikmah Bagi Sang Pemilik Dan Yang Pasti Manfaat Dunia Akherat

Kyai Fuad Plered
Penagsuh Pendiri Pondok Pesantren Traditional Roudlatul Fatihah
Pondok Pesantren Traditional Roudlotul Fatihah Kyai Fuad Pleret

Sang Kyai Berkata
Lukisan Ini Seperti Surat Cinta Dari Langit
Dan Yang Melukis Ini Bukanlah Siapa2
Lukisan Beliyau Lebih Merupakan Notasi Suasana Dan Upaya Untuk Menarik Aura Dzikir Yang Di Matrealisasikan Lebih Kurang Semacam Visualisasi Energi Yang Terus Menerus Tidak Pernah Musnah Sebagaimana Takdir Energi Itu Sendiri Bisa Berubah Rupa Tanpa Bisa Menghilang
Abstrak Transendentalisme

 Kyai Fuad Pleret
Sewaktu Disanggar Lukisan

Pondok Pesantren Traditional Roudlotul Fatihah Kyai Fuad PleretPondok Pesantren Traditional Roudlotul Fatihah Kyai Fuad Pleret




Sang Kyai Berkata
Sewaktu Pameran Lukisan Beiyau

Pondok Pesantren Traditional Roudlotul Fatihah Kyai Fuad Pleret

Pondok Pesantren Traditional Roudlotul Fatihah Kyai Fuad Pleret

Lukisan Abstrak Transendentalisme



Read More

TESTIMONI

Risalah Rajah Sosrokartono
Lukisan Profetik KH. M. Fuad Riyadi di Era Pascamodern



Oleh Mikke Susanto







Kita sedang menghadapi lukisan kyai. Bukan lukisan yang menggambarkan tentang seorang kyai dan kehidupannya. Akan tetapi menghadapi lukisan yang dibuat seorang kyai tentang apa yang dipikirkan dan dilakukannya. Serampangan saja coba rasakan perbedaan tersebut, tak terasa. Akan tetapi di balik itu semua terkandung makna yang tak hanya berkutat pada persoalan kata “lukisan” dan “kyai”.
Kata “lukisan” dan “kyai” menjadi sumbu utama dalam tulisan ini. Dua kata ini tentu bukan berfungsi sebagai subjek atau predikat. Gabungan kata ini pun bukan kata majemuk yang menghasilkan interpretasi baru. Tampak biasa, namun kajiannya dalam, persoalannya pelik, pembahasannya kompleks. Di sini, kedua kata ini akan bersatu terus-menerus. Meskipun dua kata ini jika dipisah tak mengalami masalah, karena keduanya adalah dunia yang berbeda.
Kedua kata ini dalam tulisan ini terus berkelindan dan berfungsi untuk menghubungkan dua dunia yang selama ini sering menjadi perdebatan: dunia seni (yang kini dimediasi oleh lukisan, sejatinya bersifat sekuler) dan dunia religi (yang kini dihadapi oleh seorang kyai, sejatinya bersifat sakral). Meskipun di luar pengertian tersebut, ada realias “lukisan sakral” maupun sebutan “kyai sekuler”. Kita akan berada dalam ulang-alik kata tersebut nantinya. Menariknya, ketika menghadapi “lukisan kyai” saya yakin sebagian pikiran Anda akan selalu terkait dengan sebuah dogma: Islam.

Pertautan Seni dan Religi

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

Chairil Anwar, “Doa”, 1943

Gagasan dan ide mengenai pertautan seni dan religi (Islam) telah menghasilkan sejarah panjang. Sebagai contoh kecil saja, kedatangan Islam di Jawa membawa pengaruh besar dalam perkembangan seni rupa maupun sebaliknya. Hal ini ditandai dengan dimulainya kedatangan para wali ke Nusantara, yang kemudian menggunakan seni sebagai media dakwah. Peran para penyebar Islam ini kini telah memiliki fungsi secara nyata untuk menjadikan Islam tidak saja sebagai agama, namun juga memberikan warisan yang amat penting, yakni sebagai bagian dari sistem budaya. Clifford Geertz, satu diantara banyak peneliti kawakan tentang budaya dan agama di Indonesia menuliskan semua gagasan ini dalam buku-bukunya.
Warisan ekspresi semacam ini dapat dilacak melalui berbagai aktivitas masyarakat yang sampai saat ini masih berlangsung. Salah satu contohnya yang masih terkait dengan kedatangan para penyebar agama adalah kebiasaan melakukan ziarah yang dilakukan oleh masyarakat di Nusantara. Adanya aktivitas ziarah menyebabkan materi-materi budaya tersebut menjadi sedemikian dihormati dan dihargai, bahkan layaknya barang dagangan. Dalam beberapa konteks, praktik ziarah memberi arah yang menarik, dalam ranah religi setidaknya memiliki dua tataran: individual (sebagai kunjungan religius yang tidak kurang maknanya dengan sholat berjamaah) dan kolektif (sebagai penghormatan religius untuk mengenang sejarah atau cikal-bakal sebuah komunitas atau masyarakat, misalnya munculnya Islam di Nusantara).[1]
Interior makam Kyai Ageng Moh. Kasan Besari, Tegalsari, Ponorogo dan kayu eks tiang Masjid Demak. Foto: Mikke Susanto.
Dalam ranah arkeologis, kebiasaan ziarah menjadikan peziarah menjadi sadar dan mengapresiasi peninggalan tersebut. Sebut saja makam salah satu wali, dari tata letak dan lokasi, maupun dari nisan atau kijing memberi tanda tentang kedudukan dan status sosial tertentu.[2] Sedangkan dalam konteks seni rupa, para peziarah memperoleh khasanah estetik yang menggugah, menikmati detail teknik upaya para penatah hiasan nisan; pemahat kayu singgasana khutbah dan tubuh bedug; keramik yang tertempel di dinding



 makam atau masjid; para muralis hiasan dan kaligrafi Arab pada dinding masjid; sampai misalnya ide dan upaya para sunan membuat tiang kayu penyangga Masjid Demak yang amat brilian.
Sayangnya, dalam perkembangan lebih lanjut, materi yang semula dipakai sebagai media penyebaran tauhid sebagian berubah fungsi. Jika sebelumnya seni dipakai sebagai sebuah media dakwah, peninggalan berupa artefak kini digunakan secara berlebihan dan sekuler, diantaranya sebagai media perantara kebutuhan duniawi: dari dokumentasi penelitian, atau sekadar sebagai “panggung atau studio foto luar ruang” yang mengasyikkan, sampai mencari pesugihan, memudahkan mencari jabatan, jodoh, atau mungkin juga membalas dendam, dan lain-lain.
Inilah sebagian contoh dari wajah pertautan religi dan seni yang disajikan dalam bentuk warisan budaya berupa ziarah. Tentu masih banyak contoh lain. Setidaknya akar persoalan hubungan antara seni dan religi sesungguhnya telah lama menjadi kajian menarik. Merujuk pada pendapat I. Bambang Sugiharto mengenai sejarah hubungan seni dan religi, terkait dengan beberapa hal. Jika di era pramodern religi adalah paradigma dominan kehidupan, dalam situasi modern religi adalah tendensi infantil (kekanak-kanakan), patologis, dan totaliter yang harus dilepaskan (Freud, Marx, Nietzsche, Feuerbach, Comte, Hegel, dan sebagainya), sedang dalam situasi pascamodern religi adalah lagu lama yang mesti ditafsir atau bahkan dirancang ulang.[3]
Jika memang harus ditafsir ulang, lalu seperti apakah citra yang diinginkan atau setidaknya wacana seni Islam yang kita hadapi saat ini?

Kilasan Pengertian dan Sejarah Seni Islam

Betapa aku harus kembali ke dalam kesendirianku
karena hanya dalam kesendirianku
aku dapat merindukan dan memilikimu

Sindhunata, “Wajah Putri Cina”, Air Kata-Kata, 2003

Mari bertandang sejenak melintasi ruang waktu di masa lalu sekaligus memahami sekilas seni yang berkembang dalam Islam. Seni Islam sampai saat ini kerap didefinisikan dengan berbagai pendekatan dan perspektif, sehingga memunculkan polemik yang tak berkesudahan. Salah satu yang dominan diantaranya adalah pemahaman seni Islam yang diartikulasi sebagai sebuah seni yang berkembang pada ruang dan masa tertentu.
Sebagian ahli menyatakan bahwa seni Islam dimulai dari era kelahiran Islam di zaman Rasulullah SAW. dan diakhiri pada era Dinasti Ottoman di Turki atau Qajars di Persia di awal abad ke-20. Setelah itu, kebanyakan para sarjana seni Islam mulai meninggalkan istilah “Seni Islam” (Islamic Art) dalam kajian-kajian mereka kemudian menggantinya dengan menyebut sebagai “Seni Muslim” (Muslim Art) saja.[4]
Tentu saja pengertian di atas hanyalah satu diantara opini yang diusung oleh sarjana seni Islam yang terasa sekali sikap “orientalis”-nya. Sikap tersebut diyakini hanya dengan memberi patokan durasi ruang dan waktu yang sesungguhnya tidak mampu melihat pengaruh dan dimensi yang lain dalam praktik seni Islam selanjutnya.
Di lain pihak, berbagai “perbincangan” sejarah menyatakan bahwa karena penyebaran Islam tidak dinyana-nyana telah melampaui negeri asalnya, maka pengaruh agama tersebut tentu saja juga membawa kisi-kisi Islam hingga ke dalam budaya lain. Rukun Iman yang didengungkan oleh Rasulullah menawarkan satu visi kerohanian tersebut akhirnya menembus batas-batas etnis dan sosial. Sehingga melahirkan seni Islam “baru” yang membedakan diri dengan seni Islam “orisinal” dari Arab. Seni Islam “baru” inilah yang dianggap mengalami adaptasi atau sering disebut seni Islam singkretis.[5]
Menurut James Bennet, salah satu diantara hal yang paling kuat mempengaruhi penyebaran dan pertautan antara Islam dan budaya lokal adalah mistisisme sufi. Para sufi telah mendekatkan estetika dengan spiritualitas, terutama memuncak pada abad ke-13. Teori-teori seni atau estetika yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Suhrawardi, Ahnaz al-Ghazali, Ruzbihan, Al-Baqli, Jalaluddin Rumi, dan lainnya sangat memengaruhi kehidupan satra, musik, dan seni rupa Islam. Mistisisme sufi sendiri pertama kali muncul di Persia dan tercerai-berainya para aulia dan ulama, menyusul jatuhnya Baghdad di tangan penyerang Mongol pada tahun 1258 mempercepat penyebaran gerakan keagamaan ini di semenanjung jalur perdagangan darat maupun laut.[6]
Menurut Bennett, guru-guru sufi dan murid-murid mereka menularkan praktik-praktik budaya dan keagamaan Islam di Asia Tenggara pada masa awal kesultanan sampai abad ke-17. Mereka mempraktikkan ajaran untuk menuntut ilmu yang diserukan Rasulullah SAW serta ajaran Sufi mengenai “toleransi universal” atau sulh-i-kull menciptakan kesediaan untuk menegosiasikan perbedaan di dalam lingkungan kebudayaan yang baru. Mereka memasuki kawasan-kawasan baru dan bergaul dengan tradisi-tradisi keagamaan asli yang jarang dikunjungi dengan mudah oleh ulama-ulama yang lebih ortodoks. Para penganut sufi seringkali berhubungan dengan persatuan pedagang atau pengrajin sesuai dengan tarekat yang mereka ikuti. Mereka menjalani satu sikap ekumenis (kebersatuan) dan mendukung berkembangnya seni rupa dan seni pertunjukkan.
Walisongo yang legendaris yang hidup pada abad ke-16 dewasa ini tetap dikenang sebagai ahli penggubah puisi, membabar keris, mementaskan musik, serta teater wayang Gedog yang mementaskan certia atau kisah-kisah Panji (oleh Sunan Giri) adalah salah satu contoh penting mengenai kebersahajaan mereka menggabungkan seni, Islam, dan tradisi. Keberadaan Kesultanan Aceh yang tampil secara gemilang sebagai kerajaan besar pada masanya juga mengumandangkan hasil budaya yang sangat menarik. Keahlian para pemahat batu di Aceh dalam mengukir batu nisan bertuliskan huruf-huruf yang luwes yang selama berabad-abad diekspor ke Malaysia dan ke daerah-daerah yang lain menjadikan istilah batu Aceh sampai dewasa ini pun masih dipergunakan untuk menandai makam Muslim.
Demikian pula keberadaan batik yang ada di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan bagian dari sifat estetik-introspektif yang bertentangan dengan gaya kain yang bersifat kosmopolitan dan sekuler yang berkembang di pesisir utara Jawa atau pengaruh dari luar kraton, seperti Belanda dan Jepang. Masih banyak lagi contoh pertautan gaya tradisi yang dimanfaatkan oleh Islam dalam berbagai khasanah, dari pusi, keris, Panji, batu sampai tekstil, kriya logam, taman sari, kotak sirih, naskah daun lotar, lukisan kaca, keramik, dan sebagainya. Setidaknya Islam, menyitir pendapat pelukis Malaysia Sulaiman Esa (l. 1941) lebih dari sekadar agama, dia adalah al-din, satu jalan yang lengkap dan dengan demikian secara menyeluruh mencakup kehidupan rohani, sosial, politik, intelektual, ekonomi dan budaya manusia.
Merujuk berbagai khasanah di atas, tak salah bila dalam membahas Islamic art kita tidak bisa menolak pengaruh yang terjalin di luar agama Islam berasal. Barbara Brend mendefinisikan seni Islam sebagai “seni yang dihasilkan dari ajaran atau budaya Islam dari para penganutnya. Seni Islam tidak harus selalu menunjukkan konten (ajaran) agama, dengan demikian para seniman dan orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak selalu berasal dari kelompok yang pemahaman agamanya bagus, termasuk para kuratornya.”[7]
Sepadan dengan itu, menurut Jonathan Bloom & Sheila Blair yang mengartikulasi seni Islam tidak hanya sebagai bentuk seni yang dibuat untuk praktik-praktik dengan latar belakang Islamis, tetapi juga seni yang dibuat oleh dan untuk masyarakat yang tinggal—tentu saja yang lebih penting—di daerah Muslim. Pengertian ini sangat berbeda dibanding seni Kristen maupun Budha: seni Islam merujuk pada seni-seni dari semua kebudayaan Islam dan tidak hanya terkait dengan religi Islam, termasuk variasi yang dilahirkan oleh pengaruh Islam.[8] Menurut Bloom dan Blair, seni Islam merujuk pada kurun waktu mulai dari abad ke-7 di Arab (kelahiran Islam) sampai 15 abad kemudian yang meliputi kawasan antara Samudera Atlantik dan Samudera India di daerah Asia dan Afrika, dalam bentuk yang bervariasi.
Seni Islam selalu berbicara mengenai hubungan yang kuat antara estetika dan spiritualitas. Para perupa menciptakan garis sekaligus melakukan praktik rohani dalam bentuk apapun. Tak salah bila kompleksitas Islam sebagai suatu kepercayaan di satu sisi, sekaligus sebagai sistem sosial yang memiliki garis-garis haluan tertentu telah memastikan bahwa di setiap tempat di mana Islam berpijak, di sana Islam telah mengilhami keberagaman ekspresi seni yang mengagumkan. Jawa--secara khusus di antaranya Yogyakarta-adalah satu entitas penting dalam pembahasan seni dan religi Islam di dunia.

Ulama/Kyai Melukis & Citranya yang Khas

Cahaya senja yang merah
sampai juga ke dalam kamar
menjagakan kelewang yang tidur
Dari masjid terdengar zikirmu
maka perang pun dimulai

D. Zawawi Imron, “Saran”, Berlayar di Pamor Badik, 2007.

Jika menguak persoalan seni dan Islam, selalu saja kita terikat oleh asumsi bahwa ada seorang pelukis (profesional) yang melukis cita rasa/estetika Islam dalam lukisannya. Sangat jarang ditemukan kasus yang berbeda dan khas. Apalagi jika tujuannya mencari citra baru dalam seni lukis Islam masa kini. Salah satu citra yang unik dan khas ketika menghubungkan persoalan seni dan religi adalah dengan mengambil kasus yang mungkin tidak biasa, yakni ulama melukis. Apa yang terjadi dan bagaimana mengkaji hal tersebut?
Sejak awal, perkara ulama melukis menimbulkan persoalan yang menarik bagi saya. Jika dibandingkan dengan pelukis biasa, persoalan tidak akan sepelik ini. Ada sejumlah pertanyaan awal yang bisa didiskusikan. Pertama, apakah kita perlu meninjau perkara ulama melukis dari aspek hasil akhirnya atau dari proses kerja kreatifnya? Kedua, bagaimana meninjau persoalan pemikiran di balik kerja profesinya sebagai ulama ketika ia menumpahkan pemikiran lewat lukisan? Ketiga, apakah ia sungguh-sungguh (akan jadi) seorang pelukis? Keempat, apa sajakah gaya dan isi lukisannya: tentang Islam atau general? Kelima, untuk apa dia melukis, toh jika ia ingin melakukan syiar agama, bukankah telah banyak cara yang jauh lebih efektif dan efisien yang sudah dilakukan oleh pendahulu mereka? Keenam, untuk apa dan siapa lukisan tersebut? Dan yang paling penting, ketujuh, benarkah lukisan tersebut memang “berfungsi” sebagai karya seni?
Marilah kita mulai menelusuri sejumlah pertanyaan di atas, dengan menguak sisi etimologi dan pengertian tentang ulama atau kyai terlebih dahulu.
Ulama atau kyai adalah sebutan yang khas di dunia Islam, khususnya di Indonesia. Menurut asal muasalnya, sebagaimana dirinci oleh Zamakhsyari Dhofier, perkataan “kyai” dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang (dan hewan) yang dianggap sakti dan keramat, misalnya Kyai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta atau kerbau bule bernama Kyai Slamet di Kraton Surakarta. Gelar semacam inilah yang kerap dituduh sebagai “kyai sekuler”. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya, seperti Kyai Haji Ahmad Dahlan atau yang lainnya. Ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan Pesantren.[9]
Dalam kasus yang lebih kontekstual, kata “kyai” kini bahkan telah dipakai untuk sebuah nama grup musik yang ada di Yogyakarta: Kyai Kanjeng, pimpinan Emha Ainun Najib. Setidaknya dalam tulisan ini terdapat pengertian kyai (ajengan, tuan guru, tengku)[10] yang menjurus pada hubungan persoalan agama dan pondok belajar agama (pesantren). Seperti yang ditulis berikut ini.

A Kyai (key-eye) is an expert in Islam. The word is of Javanese origin, and is sometimes spelled kiai. Traditionally, students of Islam in Indonesia would study in a boarding school known as a pesantren. The leader of the school was called kyai, as a form of respect. The traditional word for a teacher in Islam is ustad, which is an Arabic word. There are many ustads in Indonesia who teach the religion, but most of them do not have a boarding school.[11]

Sekali lagi, “kyai” dalam kajian ini terkait dengan ahli agama yang memiliki otoritas penuh terhadap pesantren. Secara khusus, otoritasnya tidak didasarkan atas legalitas formal pesantren, akan tetapi lebih pada kharisma yang dimiliki. Kharisma tersebut muncul dari konsistensi kyai dalam melaksanakan ilmu yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, keikhlasan, dan dedikasi dalam mengembangkan pendidikan dan agama Islam. Kyai akan berusaha untuk mengamalkan ilmunya terlebih dahulu, baru kemudian mencoba mengajarkannya kepada masyarakat. Hal inilah yang dilihat dan dipandang oleh masyarakat sebagai teladan. Pada akhirnya banyak anggota masyarakat dengan kerelaan hati ngaji atau belajar pengalaman hidup pada kyai.
Adapun hal yang membedakan kualitas kyai tentu saja latar belakang ilmu dan kompetensinya. Dengan melihat latar belakang dan kompetensi tersebut, kita akan bisa membedakan jenis pesantren yang dipimpinnya pula.
Gelar “kyai” sendiri tidak diberikan ketika ia dilahirkan (meskipun ada pula sebutan “kyai muda” atau panggilan “nak kyai”), akan tetapi lebih banyak diberikan oleh masyarakat atau diperoleh dari pengakuan antar kyai, ataupun bahkan mungkin dari kyai-kyai besar yang sebelumnya pernah mengajari, atau di saat ia sudah memimpin pesantren atau berperan lebih dari orang biasa.
Tentu saja seorang kyai memiliki kemampuan yang kuat dalam beberapa hal. Beberapa diantaranya yang juga memiliki kemampuan agama atau spiritual yang tak mudah dicari tandingannya. Di antara sekian banyak kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat disebut sebagai kharisma atau karomah. Para kyai yang memiliki kemampuan spiritual yang tinggi, karomah dan kharisma sering disepadankan dengan eksistensi para wali, nabi atau setidaknya mendekati kemampuan rasul. Sehingga sebutan “kyai” juga dekat dengan seseorang yang memiliki kemampuan di luar rasio rata-rata, seperti halnya eksistensi seorang seorang santo atau bahkan penyihir.[12]
Sedangkan KH. Muhammad Fuad Riyadi memiliki opini cukup menarik mengenai “kyai”. Ia menyatakan bahwa sebutan “kyai” adalah ulama akhirat pewaris perjuangan nabi. Bukan kyai ala orang Jawa yang tiap lelaki mati digelari kyai atau tiap barang yang bertuah disebut kyai. Kyai atau ulama akhirat sangat obsesif terhadap kesuksesan akhirat, cuek pada duniawi, termasuk ketika seorang kyai yang memiliki karomah dan kompetensi besar tersebut meninggal, maka ia pun tetap memberikan pengalaman spiritual yang tinggi bagi pelayatnya.[13]
Lalu, bagaimana dengan kemampuan seorang kyai di luar persoalan ilmu agama yang di dalaminya? Apakah kemampuan bernyanyi, bermusik, berpuisi, melukis, memahat, mendalang, menulis cerpen, berhitung, atau memasak bisa disamakan dengan kemampuan spiritual lain, seperti seorang kyai yang tinggal di Jawa selalu sholat Jumat di Mekah, tidak tembus peluru dan bubuk mesiu, berkemampuan menghilang, menyembuhkan orang sakit, berjalan cepat, atau memutar masjid (jika diperlukan)?
Bukankah kemampuan menghilang dan menyembuhkan juga memerlukan “latihan”seperti halnya melukis dan bernyanyi? Dengan demikian, apakah bila seorang kyai yang dalam waktu singkat menjadi pandai melukis dianggap mengalami dimensi mistik atau sedang melakukan tindak spiritual khusus? Bahkan apakah salah bila lukisannya pun disaksikan oleh sebagian pembelinya dianggap sebagai benda luar biasa yang harus dibahas di luar persoalan estetika?

Kyai Fuad dan Karya-karyanya

Lukisan-lukisan ia hanyalah semacam surat cinta
Dari langit, dan si Pelukis ini bukanlah siapa-siapa

Abdul Wachid BS., “Lukisan Laduni”, 2010

Kyai Haji Muhammad Fuad Riyadi atau Kyai Fuad adalah subjek atas perkara ini. Kyai Fuad yang lahir di Bantul, pada 8 Oktober 1970 saat ini aktif memimpin pondok pesantren “Roudlotul Fatihah”. Pondok Pesantren Limasan Jati “Roudlotul Fatihah (Taman Pembangun Jiwa)” didirikan di Wonokromo-Imogiri Bantul, pada tahun 2000. Beberapa bulan setelah gempa besar yang terjadi di Yogyakarta 27 Mei 2006 pesantren ini direlokasi. “Roudlotul Fatihah” kemudian dibangun kembali pada sebidang tanah seluas 4000 meter persegi di lereng barat Gunung Sentono, Kampung Santri, Kecamatan Pleret Bantul. Dipilihnya tanah ini diyakini sebagai tanah yang mendapat berkah, karena sering dikunjungi sejumlah kyai. Sebelumnya Kyai Fuad mendapatkan pilihan tanah di Kulon Progo, namun karena alasan kedekatan dari Wonokromo-Imogiri (tempat tinggal asal dan tempat dimana pondok pesantren yang didirikan leluhurnya serta masih mempertimbangkan jauh dekat kediaman para santrinya), maka Kyai Fuad memantapkan diri memiliki lokasi yang sekarang.
Sampai saat ini, suasana pesantren ini masih sepi, jauh dari jalan aspal, dan memberi keheningan sehingga mendukung suasana yang kondusif. Dalam pendirian pesantren ini Kyai Fuad dibantu oleh beberapa orang. Kegiatannya pun saat ini sudah lumayan banyak. Sedangkan santrinya saat ini diperkirakan telah berjumlah ratusan orang. Mondok di pesantren ini pun tidak memerlukan birokrasi yang rumit (bahkan tanpa harus meninggalkan KTP), tinggal ijin menetap atau tanpa menginap dan tidak dipungut biaya apapun. Daya tarik lainnya, papan nama yang dipakai untuk penanda pesantren pun disponsori oleh perusahaan operator handphone ternama dan tidak ada tulisan Arab sama sekali pada papan tersebut. Pesantren ini dihadiahi 500 nomor dari operator tersebut. Karena itu nomor handphone Kyai Fuad dan istrinya pun istimewa, “nomor cantik dan berpasangan” dari jaringan tersebut.
Kyai Fuad sendiri secara formal sudah mengalami masa-masa sulit, baik ketika membangun dasar pemikiran pribadi, mendirikan pondok pesantren, hingga masa kerja seperti halnya kebanyakan orang yakni pernah menjadi wartawan sebuah harian di Yogyakarta dan guru SMAN 2 Banguntapan, Bantul. Kini, dengan kondisi yang mapan, setidaknya mampu membeli material cat yang berkualitas tinggi, sejak tahun 2009 melukis dan berpameran tunggal.
Sampai saat tulisan ini dibuat, Kyai Fuad sering mengaku bukan pelukis profesional. Ia juga baru 3 tahun ini aktif melakukan kerja melukis. Baginya melukis bukan saja perkara melakukan tindak kreatif pada sebidang kanvas atau menjual karya untuk kepentingan berbagai hal, namun lebih dari sekadar itu. Melukis adalah bagian dalam syiar Islam yang diembannya. Melukis adalah media silahturahmi sesama manusia. Dengan melukis ia merasa dekat dengan satu masyarakat tertentu untuk mendapatkan teman sebanyak mungkin. Dengan melukis ia merasa mengenal pribadi-pribadi maupun pengalaman-pengalaman yang baru dan berbeda dari sebelumnya. Meskipun demikian keterkaitan dunia seni tidak dimulai dengan melukis, tetapi memasuki dunia sastra terlebih dahulu. Oleh karena itu, di pesantren sering terjadi diskusi agama berbaur dengan diskusi seni, baik lukisan, musik, olahraga, dan sastra, karena pesantren menjadi ruang pertemuan bagi para aktivis dunia seni dan sastra Yogyakarta.[14]
Kemampuannya melukis dimulai dari kesenangannya menggambar sejak kecil. Pada saat belajar di SMP Negeri Baturetno, Banguntapan, Bantul ia banyak membuat coretan maupun tulisan di buku-buku catatan pelajaran, dengan membuat pohon atau pemandangan alam secara sederhana. Akan tetapi situasi dan kondisi yang melingkupi hidupnya kala itu tidaklah kondusif untuk terus melukis.
Fuad muda lebih banyak melakukan pembelajaran diri untuk mengetahui pengalaman hidup. Di lain pihak, sejak mahasiswa ia pun belum memiliki kemauan dan tak menyadari kemampuan dirinya dalam persoalan agama. Secara terus terang bapak 3 anak ini mengaku pada saya pernah atheis dan tak mudah percaya pada takdirnya. “Karena saat itu jadi kyai saya anggap gak keren, Mas!” ungkapnya. Ia pernah merasa sangat benci dengan keberadan kyai, sampai-sampai ia tak bisa mengerti begitu banyak orang yang mencium tangan kala bertemu kyai.
Ketakacuhannya terhadap takdirnya sebagai kyai rupanya hanya tampilan fisik. Meskipun ia terus-menerus begitu (benci atas kyai), rupanya tak selamanya ia terhindar dari takdirnya. Suami dari Suparmiyati dan Dara Aryani ini mengatakan bahwa meskipun kala mahasiswa benar-benar tak acuh, pernah pada suatu kali ketika mengetahui bahwa ada seorang kyai meninggal (yakni Kyai Makmun, seorang kyai anggota Muhammadiyah) ia tidak bisa cuek. Tiga hari berturut-turut ia hanya bisa menangis dalam kamar. “Ada sesuatu yang terasa hilang, irasional, dan sesak dalam benak saya saat itu,” ungkapnya.
Namun ketika bertemu dan berguru pada ulama khos macam KH. Abuya Dimyati (Banten) dan Kyai Hamam Ja’far (Pesantren Pabelan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah)  ia mengalami revolusi pemikiran. Dari Dimyati ia memperdalam tasawuf dan asketisme ulama salaf, sedang Kyai Hamam membuka hati betapa menariknya menjadi kyai. Ia melihat sosok 2 dari sekian gurunya tersebut sebagai idealisasi hidupnya sebagai manusia. Dimyati dan Hamam dihormatinya karena mampu melakukan hal-hal yang memang ingin dilakukan tanpa pernah merasa takut dan sungkan pada siapapun, kecuali pada Allah.
Dimyati dan Hamam yang dihormatinya mampu menggerakkan hasrat Fuad muda untuk kembali pada fitrah yang telah digariskan padanya. Meskipun dia sadar dan tahu, bahwa orang tua dan neneknya (Nyai Sangidu) sering berkata pada orang lain bahwa Fuad-lah yang akan menjadi kyai dan meneruskan tradisi pesantren yang telah digagas oleh para moyangnya. Ditambah lagi, sebutan kyai diterimanya setelah dikatakan oleh Dimyati bahwa Fuad kecil itu akan jadi kyai. Pikir Fuad, inilah takdir, sebuah pemberian tak bisa disangkal dan ditangkal.
Adapun yang terkait secara mendalam pada proses pemikiran intelektual-kreatif, Fuad sudah giat melakukan kerja kreatif dengan giat menghasilkan karya sastra maupun artikel sejak 1990. Ia berguru pada satrawan legendaris Yogyakarta, Ragil Suwarnopragolapati. Sampai saat ini ia tetap menulis sejumlah buku, diantaranya Risang Pawestri (1990), Aku Ini (1991), Catatan Tanah Merah (1992), Rumpun Bambu (1994), Begini-Begini dan Begitu (1997), Gerbong (1998) Embun Tajalli (2000), Kampung Santri (2001), Cara Idiot jadi Kyai (2005), Islam itu Gampang (2005), dan Lidah Kyai Kampung (2010).
Awal aktivitas melukisnya dimulai ketika ia akrab dengan sastrawan Joni Ariadinata. Persahabatan ini sejak lama terjalin. Fuad muda juga kerap melakukan diskusi seni dan sastra ketika ia duduk di bangku kuliah di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Pergulatan pemikiran seni yang digesek bersama rekan-rekan sastrawan dan pemikiran spiritual yang dimilikinya menggugah Fuad muda untuk menyelesaikan tugas dakwahnya secara menyeluruh. Dengan demikian ia menganggap bahwa lukisan adalah hal yang cukup efisien dan efektif untuk mendukung dan menggulirkan idealismenya tentang berbagai hal, termasuk sebagai kyai dan sebagai pimpinan sekaligus pengelola pesantren.
Konsepnya melukisnya sederhana, ia ingin semua orang masuk surga. Implementasinya adalah ia harus melukis dengan tujuan agar memberi kesadaran dan manfaat secara spiritual. Ia menganggap bahwa selama ini banyak atau sebagian besar lukisan (karya orang lain) lahir dengan niatan yang bersifat materialistik. Niatan semacam ini memang sering menghadang sikap dan hidup para seniman, terutama ketika tujuan melukisnya adalah komersialisasi.
Tak salah bila pemikiran fundamental sebagai seniman yang sejatinya adalah manusia “suci” (dari materi), lama-lama terkikis dan luntur oleh tujuan tersebut. Banyak seniman kini berubah menjadi “tukang”. Lebih dari itu terdapat pula standar ganda yang dilakukan. Tidak jarang ada seniman yang tidak mengakui karyanya yang pernah dibuat karena dipasarkan pada kelas rendah, guna memenuhi selera dan kebutuhan hidup sehari-hari. Ada ketidakjujuran yang mengindap-indap diantara idealisme dan realialitas sehari-hari.
Oleh sebab itu, lukisan-lukisan Kyai Fuad dihasilkan untuk menimbang ulang tujuan tersebut. Dengan kemampuan asketik dan ilmu agama yang dimiliki, Kyai Fuad melakukan kerja kreatif agar lukisan-lukisannya tidak mengandung unsur-unsur mudarat dan tidak ingin dikaitkan dengan persoalan duniawi (estetika dan materialisme) semata. Sampai pada tataran material untuk karya, Kyai Fuad tidak ingin dipersoalkan. Untuk itu ia memiliki bahan dan materi karya yang berkualitas tinggi.
Sering dikatakannya, “Saya tidak pernah memperdulikan persoalan visual sebagai hal utama lukisan-lukisan saya, karena saya tidak percaya pada dunia materi yang tampak. Saya melukis, mencampur warna, dan menorehkannya sebagai upaya agar orang melihatnya bahwa ini lukisan, bukan benda lain. Itu saja!” Bahkan pernah pada suatu waktu ia melukis didampingi oleh rekan-rekan pelukis seperti Yusron Mudhakir, Rusnoto Susanto, dan lainnya. Pada saat itu Yusron mengusulkan ditambahkan unsur warna lain, maupun Rusnoto mengusulkan ide-ide teknik, Kyai Fuad dengan mudah melaksanakan usulan tersebut. Rasanya, tanpa beban.
Fuad mengaku bahwa ia melakukan hal tersebut karena ia tidak mengutamakan tujuan akhir berupa visual yang seperti apa, namun lebih berkutat pada esensi untuk apa ia melukis.[15] Oleh sebab itu banyak kalangan seni seperti mahasiswa seni atau perupa yang menonton karya-karyanya menganggap lukisan Fuad tak lebih dari sekadar permainan teknik dan bahan[16] serta terkesan monoton.
Lukisan-lukisan itu semula dikerjakan dengan mengambil waktu khusus seperti pada siang menjelang sore saat usai Sholat Jumat atau setiap setelah Majelis Maulid Simtud Duror[17] di pesantrennya. Waktu-waktu semacam ini diambil karena ia merasa hatinya bening dan suci untuk “menghadapi” kanvas. Kini mulai agak bebas, bisa sembarang waktu.
Di samping itu saat pertama melukis dulu ia tidak membolehkan orang lain melihatnya melukis. “Ya, saya malu bila dilihat, karena saya melukis terkadang sambil menangis, bergejolak air mata, dan hal yang sangat pribadi seperti berdzikir. Secara pribadi sepadan ketika saya membaca kitab Dalail Al Khoirat (Kumpulan bacaan sholawat karya Imam Jazuli) yang kadangkala tak perlu dilihat orang, di dalam kamar, menyendiri hanya untuk membaca sebuah buku,” ujarnya. Namun selang beberapa bulan kemudian ia tidak melarang siapapun melihatnya melukis. “Saya sudah bisa mengontrol intuisi dan kondisi, sehingga tidak perlu merasa terganggu kini,” katanya.
Pesantren rupanya menjadi studio paling ideal baginya. Ia menganggap bahwa aura spiritual yang menjadi atmosfir tanah di pesantren dan sekitarnya jauh lebih baik dari tempat yang lain. Pernah ia melukis di rumah istri keduanya, kira-kira 3 kilometer dari pesantren, namun hasilnya tidak memberi greget yang kuat pada Kyai Fuad. “Semua ini disebabkan oleh radiasi energi yang pernah ditinggalkan para kyai yang dahulu pernah mampir dan singgah di sini atau juga karena aroma sholawat dan doa yang kerap diucapkan di sini sangat berpengaruh,” katanya. (ILUSTRASI: Pendopo Pesantren)
Menariknya, hasil karya yang telah usai diletakkan ditempat yang sangat terhormat, di pendopo pesantren tempat mengaji dan sholat berjamaah sehari-hari (namun sejak 1 Agustus 2011, tempat sholat berpindah ke masjid pesantren). Sekilas terkesan lukisan-lukisan tersebut disembah. Kyai Fuad percaya bahwa aura atau spirit atau energi melalui mengaji, dzikir, dan sholat akan mempengaruhi pigmen dan partikel-partikel pada lukisan-lukisannya.[18] Pada awalnya ia menetapkan bahwa lukisan-lukisannya tersebut perlu waktu selama 40 hari. Kini, tak berlangsung lama, setidaknya kurang dari itu.
Jika melihat hasil karya lukisnya selama 3 tahun ini dari perspektif gaya visual, maka terlihat setara. Secara kasat mata lukisan-lukisan Fuad berkutat pada gaya Abstrak,[19] namun dengan catatan khusus. Abstrak yang diusungnya memang bukan Abstrak dalam arti sesungguhnya yang diusung dalam perkembangan seni rupa Eropa.
Ia menyatakan bahwa yang dilukis bukanlah benda, atau simbol tertentu, akan tetapi lebih merupakan notasi suasana dan upaya untuk menarik aura dzikir yang di-materialisasi menjadi lukisan. Lebih kurang semacam visualisasi energi yang secara terus-menerus tidak pernah musnah, sebagaimana takdir energi itu sendiri: bisa beralih rupa tanpa bisa menghilang. Sehingga saya lebih cocok mengusung gaya lukisan untuk lukisan Fuad adalah Abstrak Transendentalisme.
KH.M. Fuad Riyadi, Setan Ora Doyan Demit Ora nDulit, 145 x 90 cm, oil on canvas, 2010 (kiri) & KH. M. Fuad Riyadi, 100000000000 SM, 160 x 360 cm, acrylic, oil on canvas, 2010 (kanan)

Transendentalisme memiliki arti menyangkut hal-hal yang bersifat kerohanian, gaib, dan sering dipahami sebagai sesuatu yang abstrak bagi penganut aliran materialisme. Tak salah bila saya mengusulkan ide mengenai Transendentalisme sebagai pokok pikiran dan idealisme Kyai Fuad dalam melukis. Sedangkan Abstrak adalah gaya fisik atau pola ujar yang tampak oleh mata. Abstrak sebagai bentuk susunan garis, warna, titik, tekstur, maupun komposisi adalah metode maupun cara ungkap yang disusun sebagai media bagi narasi/pemikiran.
Istilah Abstrak Transendental saya turunkan dari buah pikiran Kuntowijoyo atas sastra yang berkembang di era 80- an di Jakarta: Sastra Transendental.

Saya kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental, oleh karena tampak aktualitas tidak dicetak oleh ruh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial, dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah kita yang otentik. Kita terikat pada yang semata-mata konkrit dan empiris yang dapat ditangkap oleh indera kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah sebuah kesaksian lahiriah yang sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membebaskan diri dari peralatan inderawi kita.[20]

Kyai Fuad meyakini bahwa gaya visual abstrak-lah yang paling cocok untuk dirinya. Bukan hanya bersandar pada ayat-ayat suci yang melarang adanya tampilan makhluk hidup pada lukisan, akan tetapi juga ada hal lain. Ia merasa bahwa gaya visual abstrak adalah jalan paling jitu untuk mengumandangkan berbagai fenomena dan pemikiran-pemikiran serta kualitas momentum yang dihadapinya ketika ia melukis.
Abstrak adalah jembatan untuk menengarai dunia rasional dan irasional. pemikiran semacam ini sangat cocok untuk mewadahi konsepsi ideal mengenai seni itu sendiri. Seni bukanlah dunia sains yang rasional, namun juga bukan dunia agama yang penuh dogma yang tak terkira oleh rasio. Akan tetapi seni dapat dimanfaatkan oleh keduanya. Seni secara tersirat jika dikaitkan pada pribadi dan karya-karya Kyai Fuad lebih merupakan sebuah konsepsi tentang karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman batinnya; pengalaman batin tersebut disajikan secara indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula pada manusia lain yang menghayatinya.
Penjiwaan Kyai Fuad atas dimensi spiritual dalam lukisan-lukisan disadari bukan sekadar ingin membuat lukisan sebagai catatan jiwa (bandingkan dengan seni sebagai “jiwa tampak-nya Sudjojono). Jiwa dan pikiran Kyai Fuad saya anggap lebih menginginkan munculnya bentuk kesadaran spiritual sekaligus memberi status baru lukisan sebagai media iman (pelaksanaan Rukun Iman dalam Islam) bagi pelukis maupun yang nanti mengoleksinya. Oleh karena itu, lukisan Kyai Fuad memang tidak mengutamakan bentuk, serta tidak pula mengutamakan permukaan. Lukisan-lukisan Kyai Fuad sepenuhnya berisi dialog dalam dan antar energi yang dilakukan secara mendalam, sesekali simbolik, dan puitis.
Dimensi transendental yang dipayungi melalui gaya Abstrak Transendentalisme semacam ini memang jauh mementingkan makna. Maka jika tanpa mementingkan makna, lukisan akan terperangkap dalam permainan dan rekaan komposisi. Lukisan akan menjadi pemuja bentuk dan lupa pesan moral dan spiritual yang menjadi kewajiban pelukisnya untuk menyampaikannya ke tengah dunia yang semakin materialis dan miskin makna. Oleh karena itu, melukis bagi Kyai Fuad bukanlah sebuah permainan. Lukisan dan kerja melukis adalah dunia realitas yang setiap hari dihadapinya. Pikiran semacam ini bersandar pada Al Quran dan Hadist Nabi yang mengungkap bahwa kehidupan dunia hanyalah sebentar. Iman dan percaya pada Hari Akhir adalah yang utama. Kesadaran inilah yang ingin dikawinkan oleh Fuad sebagai seorang kyai.
Dimensi transendental yang digeluti oleh Kyai Fuad dalam bentuk lukisan juga bukan sebuah kerja fisik yang turut mendukung hobi masa kecilnya. Alih-alih ia sedang memfasilitasi dirinya untuk jadi seorang pelukis ternama, sama sekali bukan. Sebagai kyai ia sudah cukup mapan, baik pada aspek ekonomi, sosial, eksistensi maupun pada bidang ilmu agama. Dalam konteks ini melukis atau lukisan, jauh lebih penting sebagai sebuah pergulatan konsepsi pemikirannya mengenai makna hidup di dunia, daripada diartikan sebagai sebuah benda. Sepintas lukisan-lukisannya memang tampak sulit dicerna bagi apresiannya, padahal sublim keberadaannya, mahamulia eksistensinya.
Dimensi transendental yang diekspresikan Kyai Fuad memang akan mendapat tantangan yang tak berkesudahan. Di tengah dunia materialisme yang amat mengemuka seperti saat ini, akan semakin banyak pula manusia yang terjebak dalam persoalan. Namun justru di sinilah peran kyai pelukis maupun lukisan kyai ditegakkan, yaitu sebagai bentuk proyeksi pemecah masalah, penyembuhan persoalan jiwa, maupun sebagai katarsis atas suatu kejadian.
Dimensi transendental yang termaktub dalam lukisan-lukisan Kyai Fuad patut dimaknai sebagai sepetak ruang yang tak pernah selesai dikerjakan. Lukisan-lukisan Abstrak Transendentalisme yang dibuatnya meskipun secara fisik hanya “sepetak”, namun menyimpan segudang kesadaran yang tak berkesudahan. Dengan memakai pengibaratan, lukisan-lukisan Kyai Fuad sebagai hasil dari menjenguk angkasa dan pulang membawa ilmu dan pencerahan mengenai alam semesta. Tak berkesudahan, meskipun sang pelukis memagari “sepetak” kertas dan menamakannya dengan sebaris judul.
Sedangkan keberadaan judul dalam lukisan-lukisan Kyai Fuad berfungsi untuk menajamkan ide-ide sublim yang didapatkan pada saat proses kerja kreatif berlangsung. Judul karyanya adalah sebuah tanda bahwa ia telah memasuki sebuah ruang mental psikologis. Judul tak berhenti sebagai sebuah abstraksi suasana batin sang pelukis. Pendek kata, judul-judul karya tersebut berada sepadan dengan pengalaman ekstase yang diejawantah dalam sebuah huruf dan kata.
Sebagai sebuah karya yang beraliran Abstrak Transendentalisme, tentu keterkaitan dengan dengan dimensi kesufian juga amat dekat. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Abdul Hadi WM. yang menyatakan bahwa banyak pengarang tidak berpretensi menjadi sufi, mereka lebih menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dari pandangan ahli-ahli. Dalam peradaban Islam, salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai hubungan erat dengan seni adalah tasawuf. Begitu pula, para ahli sufi yang banyak melahirkan karya-karya seni.[21]
Menariknya, Kyai Fuad bukanlah seorang pelukis an sich.Tidak salah bila kita harus menganggap bahwa lukisan Kyai Fuad merupakan hasil kreatif sebentuk perilaku tasawuf dan laku sufistik yang didasari oleh sikap-sikap transendental. Lukisan-lukisan Fuad adalah hasil pengalaman suci[22] yang tidak mudah dipahami orang awam, namun terasa mujaradnya. Inilah perbedaan esensial lukisan kyai dengan karya pelukis profesional biasa.

Lukisan Alif & Rajah Sosrokartono

Tuhan menciptakan dua jenis qalam:
Yang satu, dari tumbuhan – memukau jiwa
dari tunasnya memutik seni khat mempesona
Yang lain dari bulu hewan, kilauan sinarnya bak permata
dan memancur dari sumber air hayat
yaitu kuas untuk membuat lukisan

Qadi Ahmat

Secara garis besar hubungan antara seni dan religi di Indonesia tak pernah secara substantif bertentangan, tidak juga saling melengkapi. Hubungan cenderung insidental saja.[23] Salah satu yang penting untuk dibahas di sini sebagai contoh hubungan seni dan religi di Indonesia yang juga insidentil adalah karya yang berjudul Rajah Sosrokartono (2011).
KH. M. Fuad Riyadi, Rajah  Sossrokartono, akrilik pada kanvas, 90x145 cm, 2011
Diambilnya karya ini sebagai contoh utama bukan merupakan sebuah kebetulan. Karya ini sengaja dipakai di sini untuk menandai sebuah pergulatan pemikiran yang dekat dengan diri Kyai Fuad sebagai manusia diantara karya-karya lain yang telah dihasilkan. Karya ini secara ide dan gaya jelas menandakan contoh Abstrak Transendentalisme yang saya anggap paling lengkap kajiannya dari seluruh karya Kyai Fuad yang pernah dibuat sampai saat ini.
Dalam Rajah Sosrokartono kita akan bertemu dengan realitas-realitas transendental yang merupakan capaian kreatif Kyai Fuad, juga catatan-catatan pribadi mengenai persoalan masyarakat dan negara, sekaligus mengendus jejak-jejak sejarah yang penting dalam pikiran pelukisnya. Secara umum, Rajah Sosrokartono bukanlah sekadar lukisan yang digubah karena keinginan sebagai anggota masyarakat (baca: kritik sosial), namun juga dilatari oleh dimensi mistik, dan juga perpaduan dari sekian banyaknya ilmu agama dan pengalaman hidup dirinya.
Secara visual karya Rajah Sosrokartono tampak sederhana. Di dalamnya hanya terdiri dari elemen huruf Alif berwarna putih berukuran besar mendominasi kanvas, goresan tak rata berwarna hitam dengan sedikit unsur kebiruan sebagai latarbelakang, dan goresan kecil-kecil berwarna merah yang digoreskan tak teratur di sisi-sisi tertentu dalam bidang kanvas tersebut. Tidak lupa salah satu elemen lain adalah adanya tulisan berbahasa Indonesia berwarna hitam bening dengan tekstur nyata. Tulisan tersebut cukup panjang, hampir memenuhi seluruh bidang kanvas. Bunyinya adalah sebagai berikut.

Ilham melukis Rajah Sosrokartono dipicu oleh kekaguman Gus Dur kepada sosok RM. Sosrokartono, kakak kandung RA. Kartini itu. Makin lama ilham itu makin menggebu, sekaligus makin menekan jiwa: semacam tugas agung yang sangat berat. Akhirnya pada 18 April 2011(Senin Legi 14 Jumadil Awal 1944/ 14 Jumadil Ula 1432 H) bakdal dhuhur yang sangat gerah dan panas di luar kendali, terjadilah proses kreatif dzikir mistik ini. 1 jam, dan langsung sedetik kemudian turun hujan deras yang tak kalah agung dan suci (sedikit angin bersih dari kilat dan petir) selama kira-kira satu jam pula! Alam pun menjadi sejuk dan syahdu. Bumi basah dan damai. Aku jadi tahu, tak sembarang orang bisa mengoleksi lukisan ini. Hai, bukanlah Maulud Manusia Teragung juga terjadi pada Hari Senin, kira-kira 14 abad yang lalu? Wallohua’lam. Rajah yang dimaksud ialah: Alif, Alip, Alib, … (kata Alif atau Alip atau Alib bertebaran merata di separuh kanvas bagian bawah: 71 kata tersebut sebelah kanan dan 75 kata tersebut sebelah kiri Alif putih besar, pen.)

Dari teks ini saya membaca ada ekspresi dan ekspektasi Kyai Fuad yang luar biasa terhadap lukisan ini. Karya ini secara tersirat diniatkan atas tiga hal: penanda pikiran dan inspirasi besar mengenai situasi dan kondisi sosial-politik, dimensi transendental yang mengemuka ketika proses kreatif lukisan ini dibuat, dan buah peringatan atas sejarah Nabi yang terjadi jauh sebelumnya. Karena itulah pada saat pertama kali saya mengunjungi pesantren Roudlotul Fatihah, Kyai Fuad langsung menunjukkan karya ini dan mengatakan bahwa Rajah Sosrokartono adalah yang terbaik menurutnya selama ini, “Meskipun secara visual menurut orang lain mungkin tidak menarik!” imbuhnya.
Rajah Sosrokartono adalah sebentuk “ziarah”pemikiran. Tidak saja sebagai sebentuk penghormatan kepada Sosrokartono, akan tetapi juga sebentuk petualangan atas hasrat menuju dan mendapatkan akses kesucian ilahi. Terbukti munculnya teks dalam lukisan tersebut.

… sedetik kemudian turun hujan deras yang tak kalah agung dan suci.

Selain kepada Sosrokartono lukisan ini juga didedikasikan pada sosok Nabi Muhammad yang lahir pada hari Senin dengan menuliskan sebagai berikut.

Hai, bukanlah Maulud Manusia Teragung juga terjadi pada Hari Senin, kira-kira 14 abad yang lalu?

“Ziarah” yang dilakukan Kyai Fuad jelas bukan dilatari karena berhati kecil dan tak berdaya atas keadaan yang terjadi saat ini. “Ziarah” pada sosok Sosrokartono dan Muhammad telah menggantikan pikirannya yang semula abstrak, kini termanifestasi dalam sebuah huruf, nama, maupun gambar. Lukisan ini menjadi dunia antara sekaligus titik temu berbagai hal.
Seperti halnya diungkap oleh Chambert-Loir & Guillot yang mengatakan bahwa ziarah makam merupakan titik temu yang istimewa antaragama. Hampir dimana-mana di dunia Islam terdapat makam-makam orang-orang khusus. Pendeknya, dari makam tersebut seolah-olah para wali telah menggantikan peran para dewa, sebuah konsep pemikiran tentang keilahian di masa pramodern. Meskipun pernyataan wali menggantikan dewa tak sepenuhnya tepat, hal ini menyiratkan sebentuk keistimewaan manusia, setidaknya keistimewaan manusia di mata manusia yang lain. Tak salah bila kemudian kultur ziarah memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam.[24] Kyai Fuad secara tidak sengaja memanfaatkan tradisi “ziarah” dalam proses kerja kreatif ini.
Manusia bernama Sosrokartono memang “orang khusus”. Kekhususannya bukan karena ia waliullah seperti para sunan penyebar agama Islam atau sejenis syaikh di dunia Arab. Bukan pula karena ia seorang elite negeri yang memiliki kekuasaan untuk mengatur umat. Tidak juga karena ia bergelar pahlawan, seperti adiknya Kartini. Tidak pula karena memiliki pondok pesantren dengan sejumlah santri. Sosrokartono hanyalah manusia Jawa yang mampu membawa dirinya ke dalam khasanah Cinta-Kasih, namun mampu bermanfaat bagi manusia lain, sehingga ia memang patut dikenang sebagai sosok yang istimewa.
Sosrokartono hidup antara 1877-1952 merupakan putra Bupati Jepara, R.M. Adipati Ario Sosroningrat, yang mampu menjadi seorang sarjana penting di Eropa. Sosrokartono merupakan orang pertama Nusantara yang belajar secara formal di Eropa, dimana sebelumnya hanya utusan Jawa, budak, seniman (bernama Raden Saleh) yang sampai di Eropa. Setelah sekolah di sebuah politeknik di Delf, ia melanjutkan di Jurusan Bahas-Bahasa Timur di Universitas Leiden, Nederland, lulus 1909. Pergaulannya yang luas menyebabkan dirinya diakui sebagi orang “jajahan” yang mampu dan diakui kemampuannya di negeri Belanda, termasuk menguasai 20an bahasa negeri Barat dan Timur. Ia menjadi orang pertama Indonesia dalam penampilan terbuka ilmiah seperti yang terjadi saat Sosrokartono berbicara pada 29 Agustus 1899 di depan “Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda XXV”. Pidatonya mendapat sambutan yang sangat meriah. Pidatonya lalu diterbitkan dalam Neerlandia, Oktober 1899.[25]
Sebut saja secara mudah, Sosrokartono adalah seorang nasionalis yang mampu menjadi sosok Jawa yang khas. Karenanya ketika di Eropa ia digelari “Pangeran dari Jawa”. Ia pernah bekerja sebagai jurnalis pada saat Perang Dunia I, pernah pula diminta bekerja sebagai penerjemah di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selama 26 tahun ia mengembara di Eropa. Karena berbagai konflik batin selama di Eropa menyebabkan ia kembali ke Jawa. Di Bandung ia melakukan kerja sosial sebagai penyembuh bagi mereka yang sakit fisik maupun non-fisik dengan mendirikan rumah bernama “Dar-Oes-Salam”. Di samping itu ia juga mengajar di Tamansiswa cabang Bandung bersama: Bung Karno, Mr. Sunaryo, Dr. Samsi, dan Usman Sastroamijoyo.
Reproduksi Sang Alif yang dipasang di Rumah Perantara Surabaya, dulunya dipasang di antara ruang tengah dan belakang Rumah Dar-Oes-Salam Bandung. Sumber foto: Dr. Abdullah Ciptoprawiro, 1996
Sosrokartono jelas bukan seorang dokter. Ia lebih dikenal sebagai paranormal, giat bertirakat, suka menolong orang, rendah hati, dan tak mau menikmati kemewahan, bahkan ia sering hanya makan sebuah pisang dan dua buah cabe dalam sehari. Begitu rajin dan ikhlasnya menanamkan peran Cinta-Kasihnya ia merasa menjadi “mandor” atas perintah Allah (oleh sebab itu ia menyebut dirinya Mandor Klungsu). Begitu lurus pemikiran dan hidupnya membuat orang lain mengenangnya terus-menerus, hingga ia sendiri tidak menikah (oleh sebab itu Sosrokartono menyebut dirinya Joko Pring). “Kulo dermi ngelampahi kemawon, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggakaken dhateng Gusti (Saya sekadar menjalani saja, hanya mencari kebaikan, semua saya serahkan pada Tuhan),” demikian ungkapnya.
Dalam menjalani hidup, Sosrokartono sangat memegang teguh berbagai prinsip hidup yang baik ala Jawa dan Islam. Karena itulah Sosrokartono banyak sekali memberi pelajaran penting bagi manusia lain. Diantara pelajaran tersebut adalah ketika ia menuliskan dan memasang huruf Alif sebagai bagian dalam menjalani hidupnya. Dalam surat pribadinya ia menulis demikian, “…ping kalihipun perlu babat lan ngatur papan kangge masang Alif. (Masang alif punika kedah mawi sarana lampah. Boten kenging kok lajeng dipun canthelaken kemawon, lajeng dipun tilar kados mepe rasukan) (… kedua perlu syarat dan tempat khusus untuk memasang Alif—memasang Alif perlu sarana khusus. Tidak bisa digantung begitu saja, seperti menjemur pakaian).[26]
Huruf Alif yang dipasang oleh Sosrokartono ada beberapa buah. Pertama berupa sulaman benang putih di atas kain berwarna biru muda, buatan Sosrokartono yang dibantu oleh rekannya Soepardi yang pernah dipasang di atas pintu besar serambi muka dan tengah di Dar-us-Salam. Kedua, digambar sendiri oleh Sosrokartono dengan menggunakan tinta Cina di atas kertas putih yang kemudian diletakkan di dinding tengah serambi belakang. Ketiga, pernah pula Sosrokartono membuat rajah Alif pada kartu nama putih dengan pensil merah lalu digores dengan cutter dan digunakan sendiri dengan direndam dalam air barang sebentar. Pada lain waktu pernah pula Amin Singgih, pengurus Yayasan Sosrokartono melihat huruf Alif dari sebatang lidi di atas meja Sosrokartono, dan lidi tersebut diselipkan dalam pecinya sendiri.[27] Ada pula dokumentasi foto yang menggambarkan huruf Alif yang ditulis oleh Sosrokartono langsung pada papan tulis di rumah Dar-Oes-Salam yang berbunyi sebagai berikut.
ا
Aum Shantih - (Salam Tenang)
Panta Rei, Kai Ouden Menei
(Ke Samudera Besar, Semua Berubah)
Kala Aion - (Waktu adalah Abadi)

Dibuatnya huruf Alif oleh Sosrokartono menjelaskan sebuah prakiraan. Dalam hal ini harus dipahami bahwa Sosrokartono menulis huruf Alif dalam berbagai perangkat dan media adalah sebuah manifestasi sakral yang ingin disebarkan manfaatnya untuk orang lain.
Dalam sebuah penyataan dari Sumidi Adisasmito (saksi yang pernah bertemu langsung dengan Sosrokartono) kemudian dikutip oleh Abdullah Ciptoprawiro[28] menuliskan latar belakang Sosrokartono membuat dan memasang Alif di rumahnya. Sosrokartono mengatakan bahwa ia tidak memiliki ilmu kebatinan, tidak mempunyai japamantra (mantera) yang muluk-muluk dalil yang pelik-pelik atau doa yang indah-indah. Saya hanya memegang teguh laku tindakan, perbuatan “caturmukti”.
“Caturmukti” yang diungkapkan oleh Sosrokartono ialah perpaduan empat faal jiwa manusia: pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Kesatuan ini membentuk kasunyatan atau kenyataan atau kebenaran. Barang siapa melakukan laku kasunyatan, baik lahir dan batin dia akan mendapat kasunyatan pula. Kasunyatan ini digambarkan olehnya dengan huruf Alif, sebuah huruf Hijaiyah yang berupa garis tegak lurus, tanpa tambahan apapun. Kasunyatan atau kenyataan ini bukan monopoli siapapun, dapat dicapai oleh semua orang asalkan memenuhi syarat, yaitu berhasil menyatukan 4 faal tersebut. Artinya huruf Alif diejawantah sebagai kesatuan atau tegaknya antara pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan, lewat kebiasaan “Caturmukti”.
Abdullah Ciptoprawiro sendiri berpendapat bahwa munculnya Alif dalam benak Sosrokartono menyiratkan dua hal: pertama huruf tersebut bersumber dari Al Quran, sebagai huruf pertama yang menggambarkan kesatuan antara makhluk dan penciptanya; kedua, jika dalam Serat Sastra Gendhing Alif menggambarkan Dzat serta wujud Hyang Widhi (Allah), sedangkan Alif Sosrokartono adalah perumpamaan atau “wakil” Tuhan dalam melaksanakan misinya mengabdi pada Allah.[29]
Bukan tidak mungkin huruf Alif yang digambarkan oleh Sosrokartono merupakan seberkas ungkap kesadaran sufistik. Alif mewakili jalan Islam menuju Allah atau sebuah peta perjalanan menuju Ilahi, alias image of path, yang sering diwakili dengan 4 tahap perjalanan tasawuf: sharia, tariqa, haqiqa, dan makrifa. Semuanya adalah sebuah jalan menuju Allah yang terpancar dari Al Quran dan hadist Nabi Muhammad. Shariat adalah pelaksanaan fisik, tariqa merupakan jalan atau metode, haqiqa merupakan esensi pengabdiannya dan makrifat itu antara hamba dengan Allah tiada jarak”[30]. Lebur. Menyatu. Tunggal.
Alif menjadi perantara sebuah ingatan akan segalanya, seperti diungkap oleh penyair Sahl at-Tustari yang mengatakan bahwa huruf yang pertama dan agung adalah huruf Alif, yaitu Allah, yang menghubungkan (allafa) semua wujud, akan tetapi tetap dan terpisah dari segalanya. Banyak pula yang mengganggap bahwa Alif sebagai ciptaan pertama yang menciptakan huruf-huruf lainnya.
Dalam perspektif budaya Jawa,[31] ungkapan tentang Alif juga menarik disimak. Berbagai kitab sastra gubahan para raja, empu, dan sastrawan masa lalu juga banyak menyiratkan asumsi mengenai keberadaan Yang Maha Tunggal yang dipersepsikan dalam huruf Alif. Sebagai contoh dalam tembang Asmaradana (yang merupakan 1 dari 5 tembang dalam Serat Sastra Gending gubahan Sultan Agung) menunjukkan bahwa Alif adalah “sejatining sastra”(sejatinya keindahan) yang menunjukkan adanya Dat Mutlak sewaktu masih dalam alam sunyi. “Dat mutlak dipun arani, maksih wang-uwung kewala, iku jatining sastra ananes saestu tuduh, dupi alif wus kanyatan.
Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, R. Ng. Ronggowarsito (1802-1875) juga menyebut Alif. Simak saja ungkapan tersebut, “ing nalika iku amung amustiya peputoning tekat kang sentosa kaya ngibarating aksara Alif kan ajabar jer apes, unine A,I,U, tegese: Aku Iki Urip, banjur anyipta brangta ing Dat supaya aja kaengetan marang kan kari kabeh (pada waktu itu pusatkanlah semua kebulatan tekat dengan sentosa, seperti dikiaskan dalam huruf Alif, dengan tanda-tanda jabar, jer, pes, yang berbunyi A,I,U artinya: Aku Ini Urip (hidup) dan selanjutnya bergairah merindukan Dat, agar tiada teringat yang ditinggalkan). Kesimpulannya bahwa Alif melambangkan hidup manusia yang harus diarahkan pada Tuhan, melalui sikap hidup itu sendiri.
Lebih kurang inilah sejarah ide Rajah Sosrokartono karya Kyai Fuad yang dipameran pertama kali dalam Pameran Tunggal “Loco-spiritual” di Jogja Gallery 22-29 Juli 2011 lalu. Ide mengenai persoalan sejarah sebagai bentuk “ziarah” batin semacam ini tak mungkin hanya dilakukan sebatas mendokumentasi pemikiran Sosrokartono semata. Di balik tujuan historis tadi masih terdapat korelasi yang kuat pada aspek-aspek atau ide lain, terutama yang terkait dengan isu-isu sosial yang ada disekitar kehidupan Kyai Fuad.
Kyai Fuad menurut salah satu santrinya, H. Suwantara[32] adalah sosok yang idealis, tegas namun lembut, dan tanpa ragu mengatakan tidak pada siapapun. Ia tidak pernah merasa takut untuk mengungkapkan hal-hal yang dirasakan disharmoni, meskipun di hadapan orang yang memiliki kekuasaan. Selain itu, Kyai Fuad memiliki sensibilitas tinggi terdapat persoalan masyarakat. Maka ketika melukis pun asumsi-asumsi mengenai persoalan yang terjadi disekitarnya pun turut mempengaruhi.
Bahkan pada setiap diskusi yang kami lakukan, Kyai Fuad sering mengungkapkan kegalauannya terhadap persoalan bangsa Indonesia. “Kadang-kadang, ketika saya ziarah ke makam Maulana Magribi di Parangtritis pun yang muncul dominan dalam benak saya adalah Indonesia, Indonesia! Doa untuk Indonesia. Jarang sekali dan sering lupa kalau saya juga dititipi doa oleh kawan, kerabat, atau santri,” ujarnya sambil tersenyum. Oleh sebab itu lukisan-lukisannya secara langsung maupun tidak, merupakan hasil buah pikirnya terhadap krisis bangsa ini, termasuk pada karya Rajah Sosrokartono.
Ia pernah berujar pada saya bahwa Rajah Sosrokartono memiliki energi yang dahsyat dan hendak dijual dengan harga yang sangat tinggi. “Siapa yang akan mengoleksi akan menjadi Presiden Indonesia nantinya,” katanya. Persoalan energi, harga, maupun siapapun yang memiliki, bagi saya adalah pesoalan kedua, dan sangat mungkin bisa disalahartikan oleh pembaca. Namun yang jauh lebih penting dalam hubungan ini adalah persoalan harapan yang diungkapkan dalam lukisan tersebut. Setidaknya dari karya ini terungkap ekspresi mengenai sosok yang mampu menjadi pemimpin negeri ini. Sang pemimpin yang akan datang adalah “Sang Alif”. Secara simbolik “Sang Alif” adalah yang teguh, yang tegak, yang memiliki hubungan dengan Yang Maha Atas secara mendalam, dan yang mengerti bagaimana menyatukan berbagai persoalan (konsep tentang penyatuan) antara alam dan manusia.
Asumsi mengenai keesaan, konsep penyatuan--seperti yang dilakukan Sosrokartono--rupanya telah dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Kyai Fuad dalam menjalankan kehidupan. Sebagai pribadi yang lahir dalam alam budaya Jawa dan Islam ia mengalami pergumulan berbagai kenyataan yang menggumpal, hingga akhirnya menjadi eksisten yang khas. Semoga saya juga tak salah duga bahwa pribadi Kyai Fuad menyimpan sisi kebatinan yang kuat. Sepadan dengan konsep mistisisme kebatinan yang digulirkan oleh Niels Mulder.[33] Mistisisme kebatinan memandang eksistensi manusia dalam sebuah konteks kosmologis, menjadikan kehidupan itu sendiri sebagai pengalaman religius. Dalam pandangan ini, tidaklah mungkin memisahkan yang suci dari yang profan, yang sakral dari yang sekuler, keduanya memiliki andil dalam kesatuan eksistensi.
Pengertian kebatinan mengisyaratkan bahwa manusia memiliki sifat lahir dan batin dalam potensi, dan dua hal tersebut akan terus berhubungan. Mulder juga menuliskan bahwa menjadi kewajiban bagi setiap manusia untuk menegakkan keselarasan antara aspek luar dan dalam dari kehidupan, dalam pengertian bahwa batin harus selalu membimbing lahir. Jika sudah begitu kehidupan akan diselaraskan dan sejalan dengan prinsip-prinsip ketunggalan pamungkas.[34]
Maka tak diragukan lagi bila perjumpaan “dua dunia” pada saat Kyai Fuad melukis Rajah Sosrokartono menjadi nyata adanya. Persoalan politik, isu sosial, aura dzikir, hujan dan angin, kanvas dan cipratan warna menyatu menjadi sebuah “petunjuk”. Mirib puisi yang tertera pad sub-bab ini, sebuah petunjuk yang dikeluarkan oleh “tunas tetumbuhan” dan “bulu hewan yang dicelup air hayat” yang nyata menyandang dua qalam sekaligus yakni sebuah seni khat dan lukisan yang mempesona. Tidak tanggung-tanggung, lukisan ini telah menyandang menjadi sebuah rajah: suratan (gambaran, tanda-tanda) yang mungkin akan terjadi. Tentu saja lukisan itu menjadi amat berharga.

Rajah: Seni “Keramat” dalam Kehidupan Pascamodern

Tujuan Sayyidina Ali menulis indah
Tidak hanya menegaskan huruf dan titik
Lebih mendalam, tujuannya ialah kemurnian dan kebajikan

Qadi Ahmad

Mungkinkah sebuah lukisan menjadi benda keramat, mengalami penjimatan? Bagi kalangan intelektual dan radikal Islam, hal tersebut dianggap tabu, tak ilmiah, tak mungkin untuk dibicarakan, serta haram hukumnya karena syirik.[35] Mengeramatkan benda apapun bagi sebagian orang adalah pemberhalaan, tanpa melihat orientasi apa di balik benda tersebut. Namun bagi sebagian yang lain, hal semacam ini lumrah dan nyata adanya.
Mari kita telusuri kesaksian singkat di bawah ini, mungkin bisa menjadi pelajaran yang menarik.
Menurut H. Suwantara[36] ada sejumlah testimoni realitas di luar nalar tentang kebergunaan lukisan Kyai Fuad. Salah satu diantaranya adalah pada diri Pak Karyan. Peristiwa ini terjadi pada bulan Juni 2011. Pak Karyan adalah pemilik warung makan yang tinggal di kawasan Duri Tambora Jakarta. Warung makannya sangat laris. Banyak sekali orang yang memakan di sana. Suatu kali Pak Karyan memberitahu pada Mahdi (rekan Pak Wan atau H. Suwantara yang mengenal Pak Karyan) kalau sedang sakit keras. Perut Pak Karya seperti diinjak-injak. Pak Karyan sendiri sudah memeriksakannya pada dokter. Sayangnya dokter tersebut tidak menyatakan adanya sesuatu yang mencurigakan yang membuat sakit.
Sejak itu Mahdi dan Pak Wan menyimpulkan bahwa kemungkinan Pak Karyan menyimpan “sesuatu” dan menjadi korban atasnya. Rupa benar, Pak Karyan mengaku memiliki tumbal berupa keris (di dalamnya tersimpan jin Buto Ijo) untuk penglaris warungnya. Untuk itu Pak Karyan harus memelihara keris tersebut dengan cara memberi sesaji berupa bunga Kanthil, rokok, kopi, dan beberapa lainnya setiap waktu tertentu. Kalau tidak ada, pasti “ngamuk”. Kejadian sakit seperti ini pun sesungguhnya sudah sering dialami oleh Pak Karyan. Ia tidak menyangka kalau efeknya sedemikian rupa.
Lukisan KH. M. Fuad Riyadi, Gunung Mas (2011) yan belum sempat di pamerkan (kanan)  dan keris yang merupakan peninggalan Pak Karyan (kiri)
Setelah itu Mahdi memberitahu pada Pak Karyan bahwa ada cara untuk melepaskan itu semua tanpa harus merasa sakit maupun memelihara atau menyediakan sesaji, yakni dengan memasang karya lukisan Kyai Fuad. Pak Karyan pun mau, karena ia tidak ingin terus-menerus bermasalah dengan hal itu. Lalu Pak Wan juga menyuruh untuk membuang keris simpanannya tersebut (akhirnya keris ini dikirim ke Yogya, kini disimpan oleh Pak Wan). Lalu Pak Karyan membeli lukisan kertas bertajuk Gunung Mas (2011) berukuran 50x40cm, seharga Rp. 5 juta (padahal menurut Pak Wan seharusnya Rp. 15 juta). Saat itu Pak Karyan tak pernah melihat dulu wujud lukisan tersebut. Setelah membayar mahar, lukisan dikirim oleh Pak Wan dari Yogyakarta.[37]
Sehari setelah dipasang Pak Karyan pun sembuh, sekaligus ia telah menjadi kolektor lukisan milik Kyai Fuad.
Setelah itu tak ada lagi perasaan takut maupun sakit, baik pada diri Pak Karyan maupun istrinya. Ternyata setelah diusut, Pak Karyan memang memiliki perjanjian khusus dengan jin simpanannya, termasuk tidak boleh “menyentuh” istrinya. Sampai saat ini, mereka masih “memelihara”[38] lukisan Kyai Fuad dengan memajangnya di warung. Kisah ini pun akhirnya menyebar ke seluruh kampung dan sekitarnya. Akhirnya beberapa orang juga memanfaatkan “khasiat” lukisan Kyai Fuad untuk berbagai keperluan dan penangkal aura jahat.
Kisah ini hanya merupakan satu gambaran fungsi lukisan yang bersifat spiritual. Ada beberapa lagi yang lain yang mencerminkan sikap-sikap yang menunjukkan pada tataran spiritual yang lebih spesifik. Lukisan Kyai Fuad tidak hanya sebagai penangkal masalah hidup (yang dianggap oleh sebagian orang terlalu merendahkan kharisma kyai), namun beberapa kisah yang lain juga memberi perspektif lain yang menggambarkan para pemiliknya merasa lebih dekat dengan Allah dan Rasulullah setelah mengoleksi karya Kyai Fuad. Ada yang merasa ketika melihat lukisan tiba-tiba tanpa sadar mengucapkan kalimat-kalimat suci. Ada pula yang merasa bahwa lukisan Kyai Fuad memberi sensasi virtual yang tak terendus oleh pikiran.
Inilah realias pascamodern, dimana sisi irasionalitas bertemu dengan sisi rasionalitas yang melingkupi. Dunia pascamodern memberi peluang hidupnya berbagai entitas yang dahulu--pada masa modern memuncak--dipinggirkan. Trend hidup pascamodern telah menggantikan suasana yang terlampau rasional, sekaligus yang terlalu mengandalkan intuisi dan dogma agama semata. Pascamodern telah memecah keheningan hubungan antara keduanya, yang sekuler dan yang sakral, yang profan dan yang suci, yang tinggi dan yang rendah, yang elite dan yang merakyat.
Seni sebagai bagian dari kehidupan telah menjadi jembatan penting bagi perubahan trend dan hidup manusia, termasuk dalam era pascamodern ini. Sebagaimana diungkap oleh I. Bambang Sugiarto.
                         
Dalam situasi postmodern saat ini seni dapat berperan merayakan dan mempertinggi kesadaran atas dimensi terdalam di balik jatuh-bangunnya manusia, mengkomunikasikan secara menyentuh dilema batin dan utopia yang tersembunyi di lubuk batin manusia, mengatasi batas dan sekat yang kontra produktif antar agama. Dengan itu semua, seni yang paling ‘sekular’pun akan mampu memperlihatkan kelebatan-kelebatan dimensi transendensi, dan karenanya ‘religius’, atau lebih tepat, ‘spiritual’. Sebaliknya seni yang secara formal religius pun, manakala tak tanggap terhadap persoalan mendasar dunia manusia, akan mandul dan tak seberapa bermakna. Paling banter hanya akan berperan sebagai hiasan atau hiburan semata.[39]

Kebergunaan lukisan bagi seseorang, baik sebagai benda hiasan atau hiburan yang sangat disenangi, investasi yang berharga mahal, maupun sebagai benda yang “berkhasiat” sudah menjadi hal lumrah. Fungsi seni memang tak pandang bulu. Rajah Sosrokartono karya Kyai Fuad, tasbih para wali, cincin Sulaiman, sulaman atau goresan Alif karya Sosrokartono, keris Kyai Sengkelat milik Kanjeng Sunan Kalijaga,[40] makam Nabi Muhammad, masjid Demak, sampai Masjidil Haram dengan Kabah-nya dalam perspektif formal adalah benda seni. Semua itu secara fisik merupakan “lukisan” dan “patung” buatan manusia yang berdaya guna bagi kehidupan seorang Muslim.
Akankah benda-benda semacam ini menjadi lebih atau berkurang nilainya, dilestarikan atau dimusnahkan, hanya karena ia berbeda fungsi? Saya tandaskan tidak. Semua sangat bergantung pada pola pandang terhadap benda berupa “lukisan” atau “patung” dan sejauh mana si pemilik/kolektor (atau si pelukis sendiri) mengapresiasi. Keberadaan benda semacam ini memang tak mungkin dijelaskan peringkat estetiknya, karena memang tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Untuk itulah dibutuhkan perspektif spiritual yang lebih dari sekadar pembahasan estetik maupun rasio dalam melihat “lukisan” maupun “patung” semacam itu.
Mantera-mantera, azimat dan ramalan pun disebut dalam Al Quran, Hadist, dan karya-karya teolog Islam termasuk Ibnu Khaldun dan Imam al-Ghazali. Penggunaan guna-guna, azimat, dan sihir hampir merupakan bagian dari unsur universal Islam rakyat. Namun ada perbedaan pendapat mengenai legalitas, moralitas, dan konsekuensi akhir dari sebuah praktik sihir. Praktik sihir dalam teori-teori Islam didasarkan pada 4 skema klasifikasi: disebabkan oleh alam, kekuatan gaib, tindakan manusia dan ilahi, syirik dan permohonan.[41]
Bagi sebagian ahli, kesaktian dan kekeramatan adalah bagian dari persoalan akal atau rasio tak kuasa menggapainya. Eksistensinya di akui dari zaman ke zaman. Rasulullah SAW. sendiri pernah menggunakan mantera yang digunakan untuk meniadakan pengaruh buruk, tenung jahat, dan gigitan ular dan kalajengking. Al Quran sendiri menyiratkan perlindungan terhadap gangguan makhluk lain, meskipun tidak menjelaskan metodenya, seperti yang tertera pada Surat Al Falaq (113: ayat 2-5) maupun Surat An-Nas (114: ayat 2-6).
Pandangan Jawa kontemporer mengenai kesaktian dan kesalehan juga disematkan sesuai masanya. Pertautan persoalan syirik di Indonesia (yang dianggap oleh Muslim berasal dari budaya Hindu-Budha di Jawa kuno), kekeramatan dengan pemikiran masa kini lebih banyak merupakan warisan yang tak seluruhnya lekang. Dalam beberapa hal kesatuan dua agama yang berbeda ini sering disebut sinkretisme, meskipun tak mudah menyederhanakan persoalan ini. Di kalangan Jawa tradisional, saling ketergantungan ritual antara komunitas santri dan kejawen adalah cara untuk memperhalus perdebatan ini, meskipun Muslim-Jawa tidak pernah bebas dari perselisihan keagamaan.[42]
Bagi saya justru inilah peluang dam modal bagi bangsa ini untuk memperkenalkan diri sebagai entitas yang menarik. Lukisan Rajah Sosrokartono menjadi sebuah ekspresi individual-lokal yang memungkinkan hadir di tengah perkembangan seni rupa kontemporer di Yogyakarta yang mengglobal. Rajah Sosrokartono sebagai buah karya sinkretisme Islam-Jawa adalah karya yang lengkap untuk diperbincangkan lebih lanjut. Rajah Sosrokartono layaknya “dunia antara” yang menghadirkan dan menguji keseimbangan kosmos, agar tak lagi chaos.
Sangat sulit menjawab dan mengakhiri perdebatan fungsi seni diantara kekeramatan, estetika dan rasionaliras. Namun Rajah Sosrokartono sudah memberi jawaban yang jelas, tuntas, serta puitik. Tak perlu dijelas-jelaskan, rasakan saja. Bagi yang hanya paham dalam konteks estetik pahamilah dari perspektif tersebut. Jika mampu memasuki dimensi mistik, maka pintu terbuka lebar. Inilah jasa seni lukis dalam konteks fungsi, meskipun nantinya juga memunculkan kritik bahwa benda berupa lukisan berjudul Rajah Sosrokartono hanya sebagai benda arkeologis, magis, alias bukan karya seni.
Karya seni memang tidak bisa dilepaskan dari siapa yang membuatnya. Kyai Fuad adalah orang dibentuk oleh dua dunia: akademis dan pesantren. Kedua dunia digeluti dengan sangat intensif. Kedua dunia ini mengakar menjadikannya sosok ulang-alik. Ia adalah intelektual quasi pesantren, atau santri quasi akademis. Maka jika Taufik Abdullah[43] dalam tulisannya menyebut bahwa ada ideologi kebudayaan yang diperjuangkan oleh “intelektual Barat” dan “intelektual surau” pada masa lampau, kini jelas bahwa Kyai Fuad adalah bagian dari keduanya. Inilah satu (diantara banyak) wajah seni(man) kita pada era Pascamodern ini.
Jika memasuki kritik semacam ini semua harus berpulang pada niat. Sekali lagi benahi niat Anda sebelum melihat dan membeli karya seni. Di luar itu semua, saya hendak mengusulkan niat untuk mendekati Rajah Sosrokartono sebagai sebuah “Sketsa Kasih”, “Surat Cinta”, “Teks Kebajikan” Kyai Fuad kepada Allah. Niat ini mungkin akan mendinginkan hati di tengah gemuruh dan debat soal kesaktian, estetika, kebatinan, maupun soal ideologi Islam. +++




Alter-ego: Seni Lukis Non-Representatif ala Kyai Fuad


Oleh Mikke Susanto*




Seni Islam selalu berbicara mengenai hubungan yang kuat antara estetika dan spiritualitas. Para perupanya menciptakan komposisi titik, garis, warna, dan tekstur sekaligus melakukan praktik rohani dalam bentuk apapun. Tak salah bila kompleksitas Islam sebagai suatu kepercayaan di satu sisi, sekaligus sebagai sistem sosial yang memiliki haluan tertentu telah memastikan bahwa di setiap tempat dimana Islam berpijak, di sana Islam telah mengilhami keberagaman ekspresi seni yang mengagumkan. Jawa--secara khusus di antaranya Yogyakarta-adalah satu entitas penting dalam pembahasan seni dan religi Islam di dunia.
Kyai Haji Muhammad Fuad Riyadi atau Kyai Fuad adalah eksisten dari entitas tersebut. Ia dengan sengaja membuka tirai nuraninya untuk melakukan rekam estetik selama 3 tahun terakhir. Hasilnya adalah buah karya seni lukis yang tak sekadar berfungsi untuk mengindera yang kasat mata, namun juga meraba ruang senyap alam pikiran yang telah mengalami pergulatan spiritual. Nyata sekali bahwa keberadaan rekam jejak tersebut bukan semata-mata untuk menjalani ritual kreatif lahiriah, akan tetapi juga mewadahi khasanah amaliahnya sebagai manusia ciptaan Allah. Rekam jejak yang tertera dalam kanvas-kanvasnya sering dianggap oleh sebagian apresian sebagai “Surat Cinta”, “Teks untuk Kekasih”. Bagi saya, yang lebih mendasar adalah lukisan-lukisannya ibarat suguhan rasa syukur kepada dan perasaan intimnya dengan Allah serta Rasulullah.
Dalam perbincangan santai ia mengaku bahwa melukis bukan saja perkara melakukan tindak kreatif pada sebidang kanvas atau menjual karya untuk kepentingan berbagai hal, namun lebih dari sekadar itu. Melukis adalah bagian dalam syiar Islam yang diembannya. Melukis adalah media silahturahmi sesama manusia. Dengan melukis ia merasa dekat dengan satu masyarakat tertentu untuk mendapatkan teman sebanyak mungkin. Dengan melukis ia merasa mengenal pribadi-pribadi maupun pengalaman-pengalaman yang baru dan berbeda dari sebelumnya.
Pengalaman spiritual, asketisme, dan hubungan antara sesama yang dikembangkan sebagai perasaan cinta kasih sampai saat ini menjadi dasar pijak pergulatannya dalam lukisan. Tema-tema yang dikerjakan bersumber dari pemikiran bahwa setiap diri manusia berhak untuk menjadi insan yang dekat dengan Sang Pencipta, yakni Allah SWT. Tak salah bila yang secara lahiriah mewujud di dalam lukisan-lukisannya adalah pergumulan noktah, serumpun garis, ciprat dan lelehan air, dan berkas-berkas warna yang dibuat secara sengaja atau yang alamiah.
Dalam perspetif seni rupa, lukisan-lukisan semacam ini sering disebut sebagai seni lukis non-representasional.
Istilah ini berasal dari kata “representasional” dengan kata dasar present artinya “hadir, nyata, ada” yang bermula dari kata dalam bahasa Latin “repraesentatio(n-)” atau “repraesentare” yang berarti “bring before, exhibit”. Dalam arti yang umum representation atau representasi merupakan deskripsi atau potret seseorang atau sesuatu yang biasanya dibuat atau terlihat secara natural. Sedang menurut Raymond Williams, Keywords, A Vocabulary of Culture and Society, istilah ini merupakan tipikal yang sering digunakan dalam mendeskripsikan beberapa karakter dan situasi. Sejak abad ke-19 istilah “representasional” telah dipakai untuk mengidentifikasi elemen seni beraliran Realisme dan Naturalisme. Kemudian banyak diartikan the visual embodiment of something, dengan kata lain secara khusus ia haruslah merupakan reproduksi yang akurat (dari alam).
Sedangkan seni lukis non-representasional adalah lawan dari seni lukis representasional. Seni lukis non-representasinal dalam konteks umum merupakan ciptaan-ciptaan yang terdiri dari susunan garis, bentuk dan warna yang sama sekali terbebas dari ilusi atas bentuk-bentuk di alam, tetapi secara lebih umum, ialah seni di mana bentuk-bentuk alam itu tidak lagi berfungsi sebagai objek ataupun tema yang harus dibawakan, melainkan sebagai motif saja. Disamping itu, seni lukis non-representasional menjadikan imajinasi dan alam pikir subjek (pelukisnya) menjadi rujukan utama, meskipun penonton memiliki hak yang sama untuk mengartikulasi tebaran teks yang ada di dalamnya.
Seni lukis non-representasional memang tidak bertujuan seperti layaknya seni lukis representasional yang memiliki variasi fungsi: misalnya sebagai gambar rencana, dokumentasi atau memiliki unsur “keterbacaan” yang kuat. Seni lukis non-representasional memiliki fungsi utama yakni sebagai sebuah ruang individu untuk melahirkan khasanah yang bersifat alter-ego atau “aku yang kedua”. Alter-ego didedikasikan untuk menjadi sekumpulan teks dari yang tampak nyata adanya. Ia hadir seperti pasangan intim dari seseorang yang secara lahiriah dimanifestasikan. Namun meskipun sebagai yang “kedua”, ia menjadi bagian penting untuk menunjukkan yang siapa sesungguhnya yang “pertama”.
Sebagai contoh, ketika melihat sebuah lukisan potret diri karya Basoeki Abdullah yang secara gamblang merupakan seni representasional. Di sana tampak gambaran sebidang wajah dengan mata, hidung, telinga, dan berbagai pernik karakter hal tersebut mungkin sering dianggap sebagai wujud seseorang yang kasat mata. Kini bila melihat lukisan Kyai Fuad yang diberinya judul Jejak Roh, Jejak Wahyu, Rindu, dan banyak lagi lainnya yang hanya terdiri segumpal warna, selarik baris, maupun seberkas tekstur semu adalah wujud dari alternasi diri sang Kyai. Ia sedang melukis diri dan kesejatian tentang sesuatu dengan mengambil saripatinya.
Cara semacam ini memang memberi peluang berbagai hal dibanding dengan cara yang harus dilalui seni lukis representasional. Dengan cara ini, Kyai Fuad akan berada pada ragam situasi yang diinginkan. Tengok saja karya 100000000000 SM (baca: Seratus Milyar Sebelum Masehi), atau sketsa bertajuk Semesta. Karya tersebut secara visual amat sederhana, diciptakan hanya dengan cipratan warna pada ladang warna yang mendasari terlebih dahulu. Lukisan dan sketsa tersebut mampu dengan indah menggambarkan situasi dimasa lampau hanya dengan sebidang kanvas pada satu detik diantara milyaran waktu yang diasumsikan.
100000000000 SM  (kiri) dan Semesta (kanan)
Dilihat secara visual yang tertera di sana adalah ruang mahaluas yang tak mampu digambarkan dimana manusia berada, karena manusia memang terlalu kecil  dibanding dengan ruang ciptaan Allah. Artinya Kyai Fuad tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menggubah ruang mahaluas tersebut dalam kanvas dan kertas. Tuhan mungkin seperti kita kala memegang selembar sketsa Semesta, alam semesta hanya sebatas di tangan-Nya. Mungkin juga lebih kecil lagi. Sekilas gambaran tentang kedirian sebagai manusia yang kecil sekaligus sebagai pencipta karya tidak diungkapkan secara representatif oleh Kyai Fuad, namun justru dengan memberikan objek dan suasana dalam kanvasnya. Itu pun hanya dengan percikan warna.
Sifat seni lukis non-representasional juga dapat mengatasi ruang-waktu yang tak terjangkau oleh rasio. Berbagai karya-karya yang bersifat ungkapan perasaan amat membutuhkan sifat dan kemampuan yang dimiliki lukisan non-representasional. Karya-karya yang bertajuk Selimut Kasih, Sayap-sayap Keberanian, Planet Cinta, Taqwa, Sperma Rindu, Tonggak Kemenangan, dan beberapa lainnya yang menyiratkan situasi rasa yang diyakini tidak saja sebagai potret pelukisnya, namun juga sebuah ungkapan rasa bagi apresiannya. Kyai Fuad tidak lagi memerlukan subjek yang hadir secara utuh di depan mata seperti kebanyakan pelukis yang membutuhkan model atau foto sebagai model. Kyai Fuad hanya cukup berlayar melampaui ruang-waktu yang dimilikinya dan semaunya untuk melukis semua itu.
Seni lukis non-representasional tak hanya mampu menggoreskan isi perasaan, tetapi juga mengartikulasi dimensi mistik, non-jasmani, dan abstraksi tokoh yang selama ini kerap diperdebatkan eksistensinya, sehingga dapat mewujud secara kasat mata. Lukisan-lukisannya yang bertajuk Roh; Atlas Asmara; Benih Bima; Wirid Keteguhan adalah sebagian contoh yang hadir dengan indah. Lukisan mengenai roh, asmara, tokoh Bima, sifat teguh yang selama ini hanya mampu diucapkan di bibir, kini hadir meskipun dengan cara yang tak semua orang mampu menyuratkan. Momen dan dimensi mistik, sifat non-jasmani semacam ini mampertautkan pikiran kita secara bersama.
Roh (kiri) dan Jejak Malaikat (kanan)

Banyak orang yang mengatakan kelemahan alterego atau seni lukis non- representasional adalah tanpa kesepakatan, sehingga melahirkan perdebatan perihal “kebenaran”. “Benarkah itu wajah Tuhan? Sungguhkah semua itu adalah penampakan roh dan jejak malaikat?” Pertanyaan dan keraguan semacam ini memang selalu akan muncul. Yah, namanya juga pernyataan dan ungkapan individu, niatannya tentu saja berasal dari subjektivitas.
Jangan lupa justru subjektivitas dalam seni non-representasional adalah utama, berbeda dengan seni representasional yang harus  disepakati secara bersama-sama antara individu. Setidaknya subjektivitas telah menyumbangkan serangkaian kreativitas dari individu tentang hal yang terkait dengan kajian tertentu, diantaranya arena spiritual. Inilah alterego Kyai Fuad secara visual yang mengakar dari pengalaman-pengalamannya selama ini. Karya-karyanya adalah ungkapan pengalaman sebagai seorang kyai. Ia tengah memotret dirinya sendiri.
Subjektivitas di dalam seni non-representasional tidak senyata-nyata menyumbangkan wacana tentang “kebenaran dan kesungguhan” dalam rupa, wujud, atau visualisasi seperti halnya dalam seni representasional. Dalam lukisan-lukisan Kyai Fuad rupa, wujud, dan visualisasi segala hal hanyalah media untuk mengatasi kekosongan dan ketegangan perdebatan soal yang mistik, yang non jasmaniah, dan yang tak bertabir selama ini. Sehingga fungsi lukisan tidak hanya untuk mewadahi persoalan wujud,  jasmani atau tabir, akan tetapi juga mengarungi dimensi non ragawi. Apakah ia tengah menggambar malaikat seperti dalam karya Jejak Malaikat atau tengah menggambar roh dalam karya Jejak Roh? Bukan. Ia tidak sedang mematut malaikat agar ada di depan kamera dan dilukisnya. Jejak malaikat dan roh adalah alternasi atau media pengganti ingatan manusia bahwa ada eksistensi malaikat dan roh dalam pikira Kyai Fuad.
Puluhan benda angkasa yang mengecil seperti karya bertajuk 100000000000 SM atau sebentuk tapak yang mengejawantah dalam karya Jejak Malaikat adalah proposal yang diberikan oleh Kyai Fuad tentang dunia yang sedang dialaminya. Keunggulan karya-karya ini justru terletak pada “siapa yang melukisnya?” atau “sejauh mana sang pelukis mengalami dan mengarungi dimensi mistik atas sesuatu yang dilukisnya”. Kedekatan pelukis--dalam hal ini pengalaman empiris berlayar pada wacana sejarah dan mistik--dengan objeknya tentu saja menambah nilai, baik nilai kajian atau nilai ungkap. Nilai semacam ini nantinya memunculkan makna “kebenaran” yang ingin dicapai, seperti halnya “kebenaran” dalam seni lukis representasional yang disepakati bersama. Kedekatan antara pelukis dan apa yang dilukisnya inilah yang melahirkan nuansa lain, termasuk di dalamnya aura maupun efek non-fisik bagi penonton.
Kesepakatan atas “kebenaran” seperti pada karya Kyai Fuad hanya bisa diperoleh dan diakui ketika sang kolektornya mungkin mengalami “sesuatu yang lain”. Entah berupa situasi yang tak terfasilitasi secara jasmani atau secara fisik. Mungkin memberi pengaruh terhadap mental sang kolektor lukisan Kyai Fuad. Dari berbagai kesaksian para kolektor karya Kyai Fuad dapat diresapi bahwa mereka mengalami situasi yang tak terukur dengan rasio maupun media yang bersifat lahiriah. Ada kolektor yang merasa penyakitnya sembuh setelah membeli karyanya. Ada yang merasa ketika melihat lukisan tiba-tiba tanpa sadar mengucapkan kalimat-kalimat suci. Ada pula yang merasa bahwa lukisan Kyai Fuad memberi sensasi virtual yang tak terendus oleh pikiran.
Sejauh ini lukisan Kyai Fuad tak hanya berfungsi untuk dirinya sendiri sebagai pengejawantahan alterego dari semangat untuk mencapai kebebasan individual. Lebih dari itu adalah bahwa seni lukis non-representasional Kyai Fuad telah membakar dan membongkar konsep seni agar lukisan Abstrak tidak sekadar sebagai motif dan pola hias semata. Jadi benarlah bahwa seni lukis karya Kyai Fuad turut mendukung konsep seni Islam yang selalu mengaitkan antara estetika dan spiritual. Bukan tidak mungkin lukisan-lukisan ini adalah tanda yang dibuat oleh manusia bernama Fuad sebagai seorang kyai, bukan Fuad sebagai pelukis an sich. Mungkin inilah “kebenaran” alias “kesepakatan” baru dalam melihat seni lukis non-representasional ala Kyai Fuad. +++

Penulis adalah staf pengajar ISI Yogyakarta.




Read More

Popular Posts

Spiritual Art

Karya Seni Sang Ulamak Salaf

FOTO SWAKTU PAMERAN LUKISAN SANG KYAI

About Me

Designed By Seo Blogger Templates